Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Beban Elektoral Ahok

1 Desember 2016   13:31 Diperbarui: 1 Desember 2016   15:34 3348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Basuki Tjahaja Purnama (Kompas.com)

Memang sulit untuk dipungkiri bahwa status tersangka yang menjerat petahana Gubernur DKI Jakarta saat ini sangat berpengaruh terhadap elektabilitas dirinya di Pikada mendatang. Berbagai lembaga survei bahkan secara simultan memberikan hasil penelitian mutakhirnya bahwa Cagub nomor urut dua ini benar-benar “terjun bebas” elektabilitasnya terutama setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama. Elektabilitas mantan bupati Belitung Timur ini terus merosot, dari angka 24,6 persen menjadi hanya 10,6 persen. 

Meskipun segudang prestasi dan keberhasilan sudah diraih ketika menjabat sebagai gubernur Jakarta, tampaknya tidak cukup kuat untuk mendongkrak elektabilitas dirinya di tengah status tersangka yang saat ini harus ditanggungnya. Inilah kemudian yang menjadi warning bagi Ahok, bahwa ternyata prestasi, keberhasilan, image positif tidak selalu linier dengan kondisi elektabilitas seorang kontestan.

Mengembalikan image seseorang yang telah jatuh atau rusak memang sangatlah sulit. Apalagi kasus penistaan agama bukanlah kasus kecil karena memiliki ketercelaan yang tak jauh berbeda dengan kasus korupsi atau tindakan asusila lainnya. Beberapa indikasi yang dilakukan berbagai lembaga survei menunjukkan bahwa warga DKI meskipun meyakini banyak keberhasilan yang dicapai selama Ahok menjabat, namun tampaknya mereka enggan memilih orang yang telah menistakan agama, bahkan pada level tertentu, penista agama dipandang hina dan memalukan. Inilah yang kemudian menjadi beban berat elektoral Ahok disaat harus memenangkan Pilkada DKI Jakarta.

Image yang telanjur rusak atau jelek biasanya dialami karena dua hal, pertama, image buruk tersebut disebabkan oleh tindakan atau perbuatan yang dilakukan, baik disengaja atau tidak sengaja oleh seorang kontestan politik dan kedua, karena gencarnya lawan politik yang terus-menerus memberikan citra negatif terhadap dirinya. 

Celakanya, kedua hal tersebut benar-benar sedang berada dalam posisi Ahok saat ini, selain dia melakukan tindakan penistaan agama yang telah membuat image-nya semakin turun, juga para lawan politiknya terus-menerus membangun image negatif tentang dirinya. Untuk memperbaiki citra dirinya yang melorot, Ahok malah membuat playing victim, yaitu strategi di mana dirinya seakan-akan hanya menjadi korban dari kepentingan mayoritas politik tertentu. Hal ini bisa dibuktikan melalui pernyataannya setelah ditetapkan dirinya sebagai tersangka, dia memprovokasi pendukungnya untuk memenangkan Pilkada DKI satu putaran.

Bahkan tidak hanya itu, Ahok sepertinya melakukan serangan terhadap lawan-lawan politiknya atau kekuatan lain yang memang kontra terhadapnya dengan menyatakan, misalnya bahwa orang-orang yang melakukan demonstrasi dengan menuduh dirinya sebagai penista agama merupakan “aksi bayaran” dan digerakkan oleh kelompok Islam “garis keras”. 

Dalam beberapa hal, Ahok juga tampaknya sedang melakukan counter attack soal stigmatisasi publik terhadap dirinya, bahwa dia sanggup membuktikan di pengadilan dia tidak bersalah dalam kasus ini. Penetapan tersangka merupakan keputusan aparat yang profesional yang terpengaruh oleh desakan publik yang semakin menguat belakangan ini. Dengan demikian, sangat jelas terlihat bahwa upaya playing victim yang sedang dijalankan Ahok mengarah kepada pemutarbalikan pikiran khalayak bahwa dirinya benar-benar hanyalah sebagai “korban politik” yang sedang dijalankan oleh sekelompok orang yang tidak suka dirinya menjadi kontestan politik di Pilkada Jakarta.

Saya kira, bermain menggunakan strategi playing victim, terlebih dalam soal kasus penistaan agama yang menjerat Ahok hanya akan membuat dirinya terpuruk dalam soal elektabilitas. Hal ini terbukti dari terus menurunnya elektabilitas Ahok melihat dari hasil survei yang dilakukan publik. Memperbaiki image negatif dalam pandangan Ashforth dan Kreiner (1991) dapat dilakukan dengan dua strategi, yaitu reframing, recalibratingdan refocussing. Strategi yang disebut pertama lebih diarahkan untuk menambal image negatif yang telanjur terciptakan dengan image positif melalui berbagai capaian, keberhasilan atau jasa-jasa seorang kontestan yang pernah diraih atau diperbuat. 

Menjauhkan diri dari suatu peristiwa yang telah membentuk image negatif justru merupakan strategi paling baik dibanding terus-menerus terlibat atau membicarakan peristiwa tersebut. Ahok harus pandai membentuk stigma neutralizing dalam pikiran publik, bahwa peristiwa yang menimpa dirinya merupakan “bagian kecil” saja dari sebuah hiruk-pikuk kontestasi, bukan malah memperluas peristiwa dengan sekedar bermain playing victim.

Strategi kedua yang dimaksud, yaitu melakukan perubahan standar yang terkait dengan magnitude (seberapa besar) dan valence (seberapa bagus) suatu atribut negatif atas image-nya. Yang harus diubah adalah standar dari efek negatifnya bukan pada image-nya itu sendiri. Seorang kontestan politik yang sudah kadung mendapatkan citra negatif, misalnya dapat merelokasi citra negatif dirinya dengan mengakui bahwa dia telah bersalah dan kesalahan berasal dari dirinya secara individu, sehingga tidak terkait dengan pihak lain, baik parpol atau atau massa pendukungnya. 

Ini penting, karena peristiwa ditetapkannya Ahok menjadi tersangka berpengaruh terhadap parpol pendukungnya yang bisa saja kemudian mengevaluasi dukungannya terhadap Ahok. Saat ini yang terjadi justru persoalan Ahok tidak tereliminasi dalam suatu wilayah kecil yang menyangkut dirinya saja, tetapi menjadi wilayah besar yang melibatkan seluruh unsur para pendukung dan parpol pengusungnya. Mengeliminasi kasus penistaan agama yang seharusnya bisa dilakukan, justru saat ini sudah meluas bahwa citra negatif juga menimpa para pendukungnya bahkan parpol pengusung pun mendapatkan imbasnya.  

Strategi yang ketiga sebagaimana disebutkan merupakan aspek paling penting yang dapat dijadikan strategi mengubah image negatif publik terhadap seorang kontestan yang telanjur buruk. Dalam strategi ini, perhatian masyarakat dapat digeser dari hal-hal apa pun yang terkait dengan image negatif ke arah hal-hal yang dapat membangkitkan citra positif. 

Pengalihan perhatian ini dapat dilakukan melalui komunikasi yang tepat, seperti misalnya membanjiri opini publik dengan hal-hal positif yang melekat dalam diri seorang kontestan dan bertolak belakang dengan opini publik yang cenderung menilainya secara negatif. Refocussing juga bisa dilakukan melalui teknik pengalihan isu agar publik tidak terlalu fokus terhadap image negatif yang justru sedang melekat dalam diri seorang kontestan politik. Buatlah isu-isu “tandingan” yang seolah-olah ada peristiwa lain yang lebih besar sehingga dapat menurunkan tekanan publik terhadap dirinya.

Asumsi saya, beban elektoral Ahok di Pilkada Jakarta kali ini bisa dibilang sangat berat sehingga  diperlukan strategi-strategi yang tepat untuk mengembalikan citra positif petahana di hadapan publik. Menyederhanakan masalah hanya pada soal penistaan agama yang disematkan pada diri Ahok justru terlalu gegabah dan simplistis. 

Saya kira, Ahok bukanlah pribadi yang “bebas nilai” yang cenderung dipandang banyak pendukungnya secara monolitik. Pengalaman Ahok dalam dunia politik, seperti menjadi bupati, anggota DPR atau berkali-kali “keluar-masuk” parpol harus dipandang sebagai bagian dari “multidemensional” pribadi dirinya sebagai politisi yang justru tidak bebas nilai. Setiap sikap dan tindak-tanduknya pasti memiliki keterkaitan erat dengan wilayah publik yang pada setiap sisinya mengandung artikulasi dan pesan-pesan politik yang dapat membangkitkan image positif dan juga image negatif. Bangunlah strategi yang tepat untuk mendongkrak keterpurukan elektabilitasnya melalui aksi-aksi politik yang lebih bermartabat.

Wallahu a'lam bisshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun