Barangkali diantara sekian banyak partai politik (parpol) yang ada di pentas nasional, PSI merupakan satu-satunya parpol yang mewakili kepentingan atau paling tidak didominasi oleh kelompok anak-anak muda terutama ketika melihat pada gambaran struktur kepengurusan partainya. Parpol yang digawangi oleh Grace Natalie sebagai ketua umum dan Raja Juli Antoni sebagai sekjen partai berlambang “Bunga dalam Genggaman” ini merupakan anak-anak muda kreatif yang mungkin justru minim pengalaman dalam dunia politik praktis.
Grace, diketahui merupakan seorang jurnalis dan mantan presenter di beberapa stasiun TV swasta dan Raja Juli merupakan seorang aktivis sosial-keagamaan, tokoh intelektual muda Muhammadiyah yang mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas Queensland, Australia. Raja Juli bahkan pernah dicalonkan menjadi ketua umum PP Muhammadiyah periode 2015-2020, tetapi memilih mengundurkan diri dan ingin berkonsentrasi untuk membesarkan PSI bersama Grace Natalie. Kedua pucuk pimpinan PSI ini secara usia masih berada dibawah 40 tahun, sehingga saya anggap inilah bentuk dari sebuah refleksi politik kaum muda ditengah dominasi politik kaum tua dalam struktur kekuasaan politik yang ada.
Kemunculan PSI yang dianggap sebagai refleksi politik kaum muda, bagi saya merupakan sebuah kelahiran generasi baru yang diwakili oleh “kelas menengah” Indonesia yang mencoba mendobrak realitas kekuasaan politik yang saat ini lebih didominasi oleh budaya kelas penguasa (a rulling class culture) yang justru lebih banyak diisi secara struktural dalam masyarakat oleh kaum tua. Kelompok yang diwakili “kelas menengah” ini kemungkinan lebih banyak diisi oleh generasi yang cenderung lebih muda dan mapan secara sosial.
Struktur kelas menengah ini bisa saja memiliki spektrum sosial yang lebih luas, namun saya kira, kita dapat memberikan persepsi yang lebih umum dan cenderung mendekati, bahwa struktur kelas menengah ini diisi oleh mereka para mahasiswa, wartawan, intelektual, profesional atau para pengusaha baru. Memang tidak bisa secara tepat memberikan gambaran yang dapat mewakili model kelas menengah ini, hanya saja paling tidak, bahwa mereka yang disebut diatas menempati struktur-struktur kelas sosial dalam masyarakat yang pada umumnya lebih didominasi kaum muda.
Dalam sejarah perkembangan masyarakat politik (policy), kelas menengah seringkali digambarkan sebagai sebuah gerakan perubahan dalam sebuah struktur besar kekuasaan politik. Di Indonesia saja, peralihan kekuasaan politik dari Orde Lama ke Orde Baru atau dari Orde Baru ke zaman Reformasi selalu dihubungkan dengan adanya pergerakan yang didominasi oleh mereka yang secara struktur sosial merupakan “kelas menengah”. Perubahan sosial terkadang ditandai terlebih dahulu oleh berbagai “pertarungan” terutama yang menyentuh diantara dua dimensi kekuasaan, antara regulasi dan demokratisasi.
Rezim yang dinilai korup, nepotis dan sewenang-wenang didekati oleh kelas menengah yang rasional dan sekuler. Atau rezim yang cenderung otoritarian justru dihadapi oleh kelas menengah yang demokratik. Dalam konteks kekinian yang kemudian dihubungkan dengan kondisi sosial-politik di Indonesia, kelas menengah bisa saja merupakan cermin kegelisahan kaum intelektual muda yang mulai “kritis” terhadap hegemoni kekuasaan yang didominasi kaum tua yang sudah mapan dalam struktur kekuasaan politik.
Konsepsi kelas menengah memang secara umum dalam struktur sosial terkadang tidak terlalu tepat ketika digambarkan oleh kalangan ilmuwan sosial. Sosiolog Max Weber misalnya memberikan gambaran soal kelas sosial yang dihubungkan dengan posisi pasar, baik itu berkaitan dengan hak kepemilikan, kesejahteraan dan “kesempatan-kesempatan hidup”. Weber dengan demikian, lebih mementingkan faktor-faktor kesejahteraan, pendapatan yang lebih baik, atau peningkatan status dalam sebuah struktur masyarakat, sebagai pemicu tumbuhnya “kelas baru” dalam masyarakat.
Kelas menengah kemudian muncul dalam bentuk perjuangan atas dominasi “kelas aristokrasi feodal” dan “birokrat patrimonial” yang sementara ini mempertahankan status kekuasaannya dalam struktur masyarakat. Kelas menengah secara terus menerus kemudian berkembang menjadi pemenang dari sebuah rasionalisasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
Berbeda dengan Karl Marx yang cenderung mengidentifikasi kelas menengah sebagai sebuah diferensiasi struktur sosial yang memiliki konsekuensi hubungan secara produktif berdasarkan kelas-kelas. Marx memang tidak secara spesifik menyebut secara langsung istilah “kelas menengah” tetapi ia lebih sering menjelaskan munculnya bentuk kelompok kapitalis baru yang lahir akibat hancurnya kelas-kelas penguasa yang didominasi oleh kaum feodal.
Marx kemudian mengidentifikasi kelas menengah ini sebagai bentuk “borjuis kecil” sebagai elemen kelas kapitalis baru yang muncul akibat kegagalan atau ketidakmampuan kelas kapitalis lama dalam mengelola kekuasaan politiknya. Saya kira, kaum “borjuis kecil” sebenarnya cukup mewakili sebagi sebuah elemen masyarakat terbarukan yang seringkali dikategorikan sebagai kelas menengah dalam sebuah struktur sosial.
Asumsi saya, PSI yang lahir dan keberadaannya dianggap sebagai cerminan dari kaum muda, yang inetelek, dinamis, berprinsip akomodatif dalam mendekati dan berhubungan dengan berbagai macam realitas sosial-politik, dapat menangkap pasar aspirasi politik ditengah merebaknya isu kelompok muda yang mulai banyak terwakili dalam struktur kekuasaan politik.