Dunia medsos seakan menjadi fenomena paling berpengaruh dalam soal urusan kampanye politik, terutama yang mengarah kepada black campaign, black propaganda atau negative campaign. Diakui atau tidak, pembangunan opini publik yang tertata rapih dan terorganisir dalam ranah medsos cukup besar memberikan pengaruh yang signifikan dalam mengelola, mengangkat atau bahkan menjatuhkan para pendukung atau non pendukung kontestan politik yang sedang bertarung.
Kita tentu tahu, para buzzer terutama telah menjadi semacam “pasukan khusus” dalam melakukan kampanye politik, meskipun secara personal, bisa saja mereka bukan pendukung salah satu kandidat yang ada. Dalam dunia maya, fenomena buzzer yang berkampanye untuk salah satu kandidat tertentu tidak sepenuhnya murni sebagai pendukung, karena ada juga yang bekerja profesional dengan tujuan memperoleh imbalan tertentu.
Istilah buzzer atau bot, memang dikenal dalam dunia maya sebagai suatu aktivitas seseorang atau kelompok tertentu yang sengaja membuat propaganda terhadap produk politik (kontestan) dengan tujuan menimbulkan gangguan terhadap produk politik kompetitor. Sejatinya, istilah buzz merujuk kepada istilah dalam dunia marketing yang memiliki aktivitas sama, yaitu memunculkan gangguan terhadap produk yang sedang diluncurkan kompetitor.
Kampanye politik memiliki keterkaitan yang sama dengan aktivitas marketing, mereka memperkenalkan, membuat propaganda, membuat branding dan positioning dan yang paling sering dilakukan adalah membuat gangguan terhadap kompetitor agar publik terpengaruh untuk tidak memilih produk milik kompetitor.
Jakarta merupakan kota besar yang paling “berkicau” di dunia terutama dalam masa-masa kampanye politik, entah itu pilkada dan lebih-lebih pilpres. Lembaga pemantau media sosial Semiocast di Paris bahkan menyebut Jakarta merupakan tempat aktivitas buzzer tersibuk diantara sekian banyak kota besar lainnya di seluruh dunia.
Sejak pilkada 2012 lalu, yang dilakukan 2 putaran sehingga head to head antara Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, ternyata aktivitas para buzzer cukup berpengaruh dalam mempengaruhi opini publik dalam hal pilihan politik. Keberadaan para buzzer justru dianggap penting mengingat jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 70 juta jiwa. Dunia medsos kemudian dijadikan ajang perebutan pengaruh sekaligus kampanye politik dalam rangka memenangkan dan menjatuhkan kandidat tertentu.
Pergerakan para buzzer justru semakin terlihat menguat dalam beragam medsos, terutama Twitter dan Facebook setelah KPUD DKI Jakarta resmi menerima pendaftaran 3 pasangan calon, yaitu Ahok-Djarot, Agus-Sylivia dan Anies-Sandiaga. Memang tidak salah dari ungkapan SBY pada saat mencalonkan pasangan Agus-Sylvia dengen sebutan “Pilkada Jakarta serasa Pilpres” karena memang seluruh aktivitas politik secara penuh terkonsentrasi dalam gelaran kontestasi kali ini.
Dalam dunia virtual, aspirasi politik masyarakat rasanya dapat tersalurkan secara langsung tanpa sekat berarti karena memang direspon secara cepat oleh antarakun penggunanya, berbeda ketika aspirasi politik disalurkan dalam dunia nyata. Inilah yang kemudian menciptakan dunia virtual politik yang diwakili oleh medsos semakin dianggap penting bahkan kepolisian secara langsung memberikan ultimatum akan menindak tegas para buzzer yang sengaja membuat propaganda buruk dengan menyebar kebencian terhadap para kontestan politik di Pilkada Jakarta.
Namun demikian, saya melihat aktivitas para buzzer pada Pilkada Jakarta kali ini nampak lebih berhati-hati, karena kepolisian secara tegas terus memantau medsos selama perhelatan Pilkada berlangsung. Berbeda dengan ramainya buzzer tatkala pilkada Jakarta 2012 dan pilpres 2014 lalu.
Hal ini juga didukung oleh para kontestan politik yang terlihat sama kuat dan memiliki reputasi terbaik dalam diri mereka masing-masing. Kedua pasang calon yang ada sejatinya merupakan pesaing kuat petahana yang sejauh ini digadang-gadang sulit dicarikan lawan tandingnya. Ketokohan Anies dan Sylviana yang masing-masing merupakan kandidat pesaing petahana disebut-sebut bakal menjadikan kompetisi politik kali ini semakin ketat.
Para aktivis pengguna medsos pun kelihatannya tampak lebih rasional dalam memilah dan memilih mana kandidat yang betul-betul memberikan harapan baik untuk rakyat Jakarta. Sama halnya ketika suatu produk yang diluncurkan kepasaran ketika masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan yang sama, maka publik pada akhirnya cenderung akan memilih sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing. Para buzzer politik akhirnya hanya dapat bermain pada wilayah public interest, dimana isu-isu negatif yang dicari dari setiap kontestan politik cenderung diasosiasikan kepada parpol pendukungnya, tidak lagi diarahkan kepada personalisasi kontestan. Bahkan komentar-komentar yang bernuansa SARA dan menebar kebencian yang seringkali ditujukan kepada salah satu kandidat terlihat mulai berkurang seiring dengan munculnya kompetitor yang dinilai dapat memenuhi harapan publik warga DKI.
Saya kira, publik perlu disadarkan untuk membangun komunikasi yang cerdas dan berimbang di medsos sehingga dapat memberikan harapan baru bagi sebuah kompetisi politik yang sehat. Jika memang harapan akan demokrasi sebagai satu-satunya sistem terbaik saat ini dan sulit digantikan, maka demokrasi menuntut suatu kompetisi yang sehat.
Schumpeter pernah menulis, bahwa demokrasi merupakan, “for arriving at political decision in wich individuals acquire the power to decide by means of a competitive struggle for the people vote”. Demokrasi memberikan kesempatan yang luas agar siapapun memiliki peluang yang sama dalam hal pilihan politik dan bertarung secara kompetitif dalam rangka memperoleh dukungan rakyat.
Banyak kalangan berpendapat, bahwa Pilkada Jakarta kali ini terasa lebih sejuk setelah munculnya dua pasang calon kontestan yang dinilai memiliki reputasi terbaik dalam melawan petahana. Dengan demikian, saya kira sangat sulit untuk kemudian memberikan tempat bagi aktivitas black campaign atau negative campaign yang biasanya diramaikan oleh para aktivis buzzer politik di ranah medsos.
Justru lewat medsos kita dapat membangun demokrasi virtual atau demokrasi digital yang dapat mewarnai setiap proses politik atau kebijakan politik pada tataran praksisnya. Demokrasi tidak selalu dibangun dalam tataran praksis politik, tetapi bisa dilakukan melalui akun-akun virtual yang dimiliki setiap orang di ranah medsos.
Saya kira, Kompasiana sebagai sebuah ajang diskusi virtual yang kompetitif dan berimbang dalam membangun citra demokratisasi dengan menghapus tulisan-tulisan yang bernuansa SARA, hate speech atau berisi kebencian perlu kiranya diapresiasi.
Wallahu a’lam bisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H