Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik di Antara Suka dan Benci

27 September 2016   11:33 Diperbarui: 27 September 2016   18:47 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini, tensi politik di Jakarta nampaknya terus naik, apalagi di tengah semakin dekatnya perhelatan kontestasi Pilkada DKI yang semakin mendekati waktunya. Entah kenapa, sejak Pilpres tahun 2014 lalu, tensi politik itu tidak pernah turun, bahkan cenderung naik, bahkan sesekali tampak tidak rasional terutama yang tergambar dan terekam dalam berbagai aktivitas publik di ranah media sosial. 

Mereka yang berasal dari pendukung dan non pendukung para kontestan politik sejak Pilpres 2014 lalu, terus-menerus perang opini, dengan cara mendukung, membela, menyalahkan, membuat simbolisasi, mengkritik, bahkan terkadang hal-hal yang tidak ada hubungannya yang penting suka atau tidak suka tetap menjadi opini yang menjadi konsumsi publik. Politik, terutama jika dikaitkan dengan kekuasaan, pada akhirnya bisa membelah masyarakat antara mereka yang suka dan benci.

Kita tidak akan bisa memungkiri bahwa manusia itu sendiri sejatinya adalah “makhluk politik” atau zoon politicon sebagaimana yang dikatakan Aristoteles. Manusia tidak akan pernah bisa lepas dari urusan politik, karena politik merupakan bagian dari hidup manusia itu sendiri. Dalam sebuah keluarga, disadari ataupun tidak, kita tentu berpolitik kepada anak-anak kita. 

Kita bisa saja bersikap seperti Hitler yang garang, tegas, dan bicara blak-blakan atau berperilaku seperti Soeharto yang selalu tersenyum, rendah hati, berbicara pun terlihat lembut. Dalam menjalani hidup, kita bisa mengikuti gaya politik siapa saja yang kita suka, sekaligus membuang jauh-jauh gaya politik seseorang yang memang sudah kita benci. Jadi, tidak mungkin kita hidup tanpa berpolitik, karena dengan politik, kita justru dapat bersosialisasi dengan yang lain, bertukar pikiran, bersikap setuju atau tidak setuju atau dalam hal-hal tertentu bisa saja bermusuhan.

Sikap benci dan suka yang berkaitan dengan soal politik, kemudian tidak saja diasosiasikan kepada benda yang sifatnya nyata, seperti kepada perilaku individu, kelompok, parpol atau komunitas tertentu. Sikap suka dan benci bisa saja melekat kepada hal-hal yang sifatnya abstrak, seperti agama, ideologi dan sebagainya. Kebanyakan di antara manusia ketika memandang politik selalu berawal dari perasaan suka dan benci, tidak mampu mengedepankan prasangka baik yang lebih adil dalam memandang sebuah subjek. Oleh karenanya, wajar jika kemudian rasa benci dan suka lebih mengemuka di areal publik yang lebih nyata ditunjukkan oleh aktivitas perang opini antara satu individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok lainnya.

Opini yang dikonsumsi publik pun serasa bentukan dari unsur rasa suka dan benci terhadap politik, tidak saja benci kepada orang-orangnya tetapi benci terhadap ideologi atau bahkan agamanya. Hal ini sesuai dengan bunyi satu pepatah “kalau sudah suka cela apa pun tak terlihat, tetapi jika sudah benci maka semua keburukan akan diungkap”. 

Realitas konstelasi politik di negeri kita ini tampaknya lebih banyak dihasilkan dan dibuat dari aksioma suka dan benci bukan berangkat dari asumsi prasangka yang baik sehingga dapat lebih objektif dan adil dalam memandang banyak hal. Padahal, keadilan justru merupakan harapan sekaligus prasyarat dalam menentukan kehidupan masyarakat termasuk masyarakat politik (policy). Keadilan tidak saja unsur paling penting dalam kehidupan sosial, tetapi ia menjadi perintah Tuhan untuk seluruh umat manusia. Adil dengan demikian adalah harapan bersifat imanen sekaligus transenden.

Dalam sebuah realitas masyarakat yang agamis seperti Indonesia, agama acapbkali dikorelasikan dengan persoalan-persoalan politik kekuasaan yang seakan-akan kemudian bahwa dukungan seseorang terhadap kekuasaan yang bukan berasal dari golongan agama mereka dianggap mengingkari dan mengotori agama itu sendiri. Persoalan agama dan politik memang tak lepas dari upaya dukung-mendukung atau pro-kontra antara mereka yang terus-menerus mempersoalkan realitas politik dihadapkan dengan realitas keberagamaan. Padahal, agama semestinya dapat menjadi penyeimbang dan mampu menjadi “penjaga” dari segenap penyimpangan yang ada dalam kekuasaan politik, bukan dipertentangkan dan tidak pula dilepaskan.

Sebagai seorang muslim, saya meyakini bahwa diktum al-Quran lebih banyak mendorong ke arah bagaimana kita sebagai muslim mampu bersikap adil terhadap sesama dan melarang membenci orang lain. Karena sikap kebencian yang ditujukan kepada seseorang atau kelompok lain akan cenderung mengikatkan diri kita kedalam sikap fanatisme atau sektarianisme sehingga membuat kita tidak adil kepada mereka (lihat QS.5:8).

Yang paling mengharukan adalah ketika kemudian agama dipergunakan hanya untuk “alat” legitimasi kekuasaan politik untuk membuat seakan-akan dukungan terhadap seseorang dalam meraih kekuasaan adalah didasari oleh agama. Padahal, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad memiliki misi sebagai “rahmat bagi alam semesta” sebagaimana ditegaskan dalam diktum al-Quran. Ketika agama dijadikan alat politik, ia tak lebih menjadi fosil, membeku tidak lagi menjadi penawar bagi solusi masalah-masalah kemanusiaan yang begitu kompleks, tidak sekedar urusan politik.

Dengan demikian, seharusnya di manakah letak agama dalam realitas politik? Selama ini, banyak asumsi yang berkembang dalam masyarakat, bahwa membela para politisi yang sedang bertanding dalam sebuah kontestasi politik karena alasan agama atau ideologi, merupakan perjuangan dalam membela agama itu sendiri. Padahal, belum tentu mereka yang dibela karena alasan agama atau ideologi juga pada akhirnya akan berpihak memperjuangkan agama atau ideologi yang sama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun