Ada hal yang berbeda dari fenomena Pilkada Jakarta kali ini, bahwa terdapat resistensi sebagian kelompok masyarakat terhadap majunya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai cagub DKI Jakarta yang terkadang dihubungkan dengan nuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Beberapa indikasi SARA yang dimaksud adalah terdapat sentimen-sentimen politik dan keagamaan yang ditujukan secara langsung kepada Ahok, baik itu karena perbedaan etnis atau agama yang dilakukan oleh seseorang ataupun kelompok dalam masyarakat.
Tak bisa dipungkiri, bahwa ditengah kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen, gesekan-gesekan yang mengatasnamakan SARA terkadang sulit sekali diredam, bukan karena ketiadaan atau rendahnya tingkat toleransi diantara masyarakat, tetapi karena memang ada kepentingan individu atau kelompok yang dipertahankan, terutama dalam segala hubungan yang bersifat politik-kekuasaan.
Beberapa waktu yang lalu publik dihebohkan oleh beredarnya video yang diunggah beberapa orang aktivis kampus yang secara terang-terangan menolak pencalonan Ahok bahkan menghimbau agar tidak memilih Ahok pada Pilkada Jakarta mendatang. Persoalannya karena Ahok berbeda agama dengan mereka, sehingga mereka berkeyakinan, setiap yang berbeda agama maka dilarang untuk dipilih bahkan dicalonkan menjadi pemimpin.
Prinsip dengan mengedepankan perbedaan etnis atau agama dalam sebuah masyarakat dinilai sebagai sesuatu yang memiliki muatan SARA, sehingga fenomena Ahok yang mencalonkan diri sebagai cagub DKI, baik dilihat secara etnis maupun agama, jelas tidak bisa ditolerir oleh mereka yang belum bisa menerima perbedaan.
Apalagi ditambah oleh terlalu kuatnya sentimen keagamaan yang dimiliki, sehingga dalam banyak hal, agama dijadikan alat untuk melegitimasi apapun, termasuk politik. Nuansa politis justru berbeda ketika memperhatikan manuver politik salah satu Tokoh Reformasi yang memunculkan pernyataan anti Ahok, dia tidak sedang bermain isu SARA tetapi justru dalam rangka menghargai demokrasi tentang perlunya perbedaan pilihan politik. Walaupun terkesan ada “politisasi agama” akibat pernyataannya yang dilontarkan justru dari sebuah momen ibadah, yaitu Idul Adha.
Dalam sebuah iklim demokrasi, perbedaan kepentingan dalam soal politik kekuasaan terutama bagi yang mendukung atau non-pendukung salah satu kandidat adalah hal yang wajar walaupun ditangani oleh ekspresi politik secara berbeda-beda. Untuk isu yang berkaitan dengan SARA ketika dipakai untuk menjegal salah satu kandidat, tidaklah laku dalam realitas masyarakat masa kini.
Karena memang masyarakat saat ini sudah lebih cerdas dalam sikap politik, sehingga isu-isu yang berkaitan dengan SARA justru hanya bersifat sporadis tidak sampai menimbulkan ketegangan atau konflik ditengah masyarakat. Isu-isu yang bernuansa SARA pun seharusnya tidak juga ditanggapi sebagai persoalan serius oleh masing-masing kandidat, karena jika dianggap serius tentu semakin memperlihatkan ketidakdewasaan seseorang dalam berkegiatan politik. Semakin isu SARA ditanggapi, maka semakin jatuh dalam kubangan konflik dan semakin tidak rasional dalam hal hubungan sosial dan politik.
Sentimen SARA seringkali dihubungkan dengan agama yang dipolitisasi atau agama “dijual” sebagai sebuah kepentingan politik kelompok tertentu. Praktek “jual-beli” agama dalam sebuah masyarakat politik (policy) terkadang bisa saja berhasil pada tingkat tertentu. Umumnya, masyarakat tradisional yang masih mengikatkan diri secara ideologi terhadap agama atau kepercayaan tertentu, mudah saja diarahkan partisipasi politiknya, berbeda dengan masyarakat yang relatif terbuka dan modern.
Namun demikian, isu-isu yang dikaitkan dengan agama atau kepercayaan tertentu dalam meraih simpati politik saat ini cenderung berkurang akibat derasnya arus globalisasi dan modernisasi. Kita mungkin bisa melihat bahwa beberapa parpol yang mengikatkan dirinya secara ideologis bukan pada relasi-relasi program kerja atau rasionalitas kemanusiaan justru semakin tidak mendapatkan tempat di hati rakyat. Perkembangan “politik ideologi” sejak masa kemerdekaan Indonesia hingga saat ini, memperlihatkan betapa masyarakat semakin rasional dalam merespons soal-soal politik, tidak lagi mempedulikan perihal ideologi, agama atau kepercayaan tertentu yang mereka anut.
Politisasi agama ditengarai sebagai bentuk lain dari ekspresi politik “menjual Tuhan”, dimana seakan-akan Tuhan hadir menjadi “pembela” bagi kelompok politik atau simpatisan tertentu. Padahal, entitas Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, justru akan terlihat “tidak berkuasa” dan turun derajatnya ketika ditarik kedalam situasi politik tertentu apalagi diarahkan dan dipaksa untuk menjadi “simbol” kebenaran bagi suatu komunitas politik tertentu.
Saya kira dalam beberapa hal, pidato Said Aqil Siradj dalam pelantikan pengurus baru Baitul Muslimin Indonesia (BMI) di Jakarta tentang mempolitisasi agama yang sama dengan “menjual Tuhan”, mengindikasikan terdapat perbedaan yang signifikan antara agama dan politik. Kritik politisasi agama yang juga relatif sama pernah dilontarkan lebih dahulu oleh almarhum KH Abdurrahman Wahid, bahwa Tuhan tidak perlu dibela, karena Tuhan Maha Kuasa dan Maha Tinggi atas apapun.
Membela Tuhan hanyalah akan semakin merendahkan derajat ketuhanan bahkan memperlihatkan bahwa Tuhan itu lemah, padahal entitas Ketuhanan tidak bisa disamakan dengan hal apapun atau siapapun.
Sejatinya, agama dan politik merupakan dua entitas yang berbeda, apalagi jika politik sudah terformalisasi kedalam bentuk partai. Agama dibentuk oleh kesamaan iman dan keyakinan dalam sebuah masyarakat, sehingga agama menjadi pengikat solidaritas sosial. Berbeda dengan politik yang terbentuk atas dasar kesamaan kepentingan yang bisa terdiri dari kepentingan agama, ekonomi, kekuasaan atau bisnis. Ikatan-ikatan yang terbentuk secara politik tidak akan bertahan lama, berbeda dengan ikatan-ikatan yang dibangun atas dasar agama dan keyakinan.
Agama bisa saja mewarnai kehidupan politik karena nilai-nilai moralitasnya yang luhur, tetapi umumnya agama hanya diekspresikan secara personal, belum menjadi ekspresi bersama apalagi jika hanya diidentikkan dengan sebuah parpol yang mengusung agama atau keyakinan tertentu. Karena adanya perbedaan entitas antara agama dan politik, maka politisasi agama atau agama yang dipolitisir hanya akan menghasilkan sebuah kegiatan yang sia-sia, karena keduanya memang sangat sulit bertemu.
Dengan demikian, menjadikan agama sebagai penguat moralitas dan identitas, penuntun ke arah semangat spiritual, baik untuk kebaikan personal maupun komunal, harus diletakkan sebagai seperangkat nilai yang baik yang dapat mewarnai setiap bentuk kepentingan apapun, termasuk kepentingan sosial-politik.
Namun ketika agama diformalisasikan bahkan dijadikan legitimasi untuk suatu kepentingan kemanusiaan yang bersifat kekuasaan (politik) sama halnya dengan menjalankan praktek “dagang agama”. Agama hendaknya menjadi cita-cita bersama yang luhur, karena muatan-muatan ajarannya yang sarat dengan prinsip-prinsip moral dapat membentuk ikatan-ikatan sosial berdasarkan kebutuhan kebaikan bersama, bukan kepentingan sesaat. Hanya saja terdapat kekhawatiran sekelompok masyarakat terhadap hal-hal yang diprediksi akan merusak tatanan sosial-keberagamaan mereka, sehingga terkadang perlu juga melakukan formalisasi agama dalam realitas politik.
Apalagi masyarakat Indonesia digambarkan sebagai masyarakat yang religius, dimana keterikatan dengan ideologi dan agama masih sangat kuat, sangat berbeda dengan kondisi masyarakat di Barat yang cenderung menganggap agama sebagai realitas yang “nihil” dalam politik.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H