Membela Tuhan hanyalah akan semakin merendahkan derajat ketuhanan bahkan memperlihatkan bahwa Tuhan itu lemah, padahal entitas Ketuhanan tidak bisa disamakan dengan hal apapun atau siapapun.
Sejatinya, agama dan politik merupakan dua entitas yang berbeda, apalagi jika politik sudah terformalisasi kedalam bentuk partai. Agama dibentuk oleh kesamaan iman dan keyakinan dalam sebuah masyarakat, sehingga agama menjadi pengikat solidaritas sosial. Berbeda dengan politik yang terbentuk atas dasar kesamaan kepentingan yang bisa terdiri dari kepentingan agama, ekonomi, kekuasaan atau bisnis. Ikatan-ikatan yang terbentuk secara politik tidak akan bertahan lama, berbeda dengan ikatan-ikatan yang dibangun atas dasar agama dan keyakinan.
Agama bisa saja mewarnai kehidupan politik karena nilai-nilai moralitasnya yang luhur, tetapi umumnya agama hanya diekspresikan secara personal, belum menjadi ekspresi bersama apalagi jika hanya diidentikkan dengan sebuah parpol yang mengusung agama atau keyakinan tertentu. Karena adanya perbedaan entitas antara agama dan politik, maka politisasi agama atau agama yang dipolitisir hanya akan menghasilkan sebuah kegiatan yang sia-sia, karena keduanya memang sangat sulit bertemu.
Dengan demikian, menjadikan agama sebagai penguat moralitas dan identitas, penuntun ke arah semangat spiritual, baik untuk kebaikan personal maupun komunal, harus diletakkan sebagai seperangkat nilai yang baik yang dapat mewarnai setiap bentuk kepentingan apapun, termasuk kepentingan sosial-politik.
Namun ketika agama diformalisasikan bahkan dijadikan legitimasi untuk suatu kepentingan kemanusiaan yang bersifat kekuasaan (politik) sama halnya dengan menjalankan praktek “dagang agama”. Agama hendaknya menjadi cita-cita bersama yang luhur, karena muatan-muatan ajarannya yang sarat dengan prinsip-prinsip moral dapat membentuk ikatan-ikatan sosial berdasarkan kebutuhan kebaikan bersama, bukan kepentingan sesaat. Hanya saja terdapat kekhawatiran sekelompok masyarakat terhadap hal-hal yang diprediksi akan merusak tatanan sosial-keberagamaan mereka, sehingga terkadang perlu juga melakukan formalisasi agama dalam realitas politik.
Apalagi masyarakat Indonesia digambarkan sebagai masyarakat yang religius, dimana keterikatan dengan ideologi dan agama masih sangat kuat, sangat berbeda dengan kondisi masyarakat di Barat yang cenderung menganggap agama sebagai realitas yang “nihil” dalam politik.
Wallahu a'lam bisshawab