Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasus Andrew dan Sikap Toleransi Kita yang Tercabik

31 Agustus 2016   12:02 Diperbarui: 1 September 2016   05:33 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merilis soal data terbaru mengenai potensi konflik jelang Pilkada 2017 dan Jakarta berada pada kategori daerah rawan konflik dengan indikator “kerawanan sedang” dengan index nilai 2,00-2,99 dilihat dari aspek soal kualitas DPT-nya. Tetapi, Jakarta bisa dinilai memiliki “kerawanan tinggi” jika dihubungkan dengan suhu kontestasi politik yang semakin “panas” karena faktor petahana yang ikut manjadi kontestan di Pilkada mendatang. Memang banyak beberapa indikator yang disebutkan dalam rilis Bawaslu mengenai potensi kerawanan konflik jelang Pilkada 2017 dan Jakarta berada pada peringkat ketiga setelah Provinsi Banten dan Aceh soal kerawanan pemicu konflik jelang kontestasi politik serentak ini.

Rilis yang dikeluarkan Bawaslu seakan membuka mata kita bahwa bangsa kita ini semakin mudah berperilaku intoleransi terutama ketika berbenturan hanya karena perbedaan kepentingan politik. Padahal, negeri ini sudah belajar berdemokrasi sejak digulirkannya reformasi pada 1998 yang lalu. Kita tentu sadar bahwa demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan kondisi politik yang otoritarian dan sebaliknya, toleransi tanpa demokrasi hanya membentuk masyarakat pseudo-toleransi yang rentan terhadap konflik-konflik bersifat komunal. Demokrasi dan toleransi seharusnya berjalin kelindan membentuk komunitas baik secara sosial dan politik. Ketiadaan salah satunya hanya akan menimbulkan banyak kerawanan sosial yang justru mengganggu stabilitas bangunan sebuah bangsa.

Baru-baru ini kita disuguhi sebuah berita yang bisa saja berpotensi konflik lebih melebar secara horizontal yang dipicu oleh unsur SARA yang termuat didalamnya. Konflik ini bahkan kemudian dihubungkan dengan “panasnya” suhu politik yang terjadi jelang Pilkada di DKI Jakarta. Adalah seorang warga Jakarta yang bernama Andrew Budikusuma membuat serangkaian pernyataan di ranah media sosial tentang perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan beberapa orang terhadap dirinya ketika berada dalam perjalanan di Bus TransJakarta. Andrew mengaku diintimidasi bahkan dipukul tanpa alasan yang jelas. 

Andrew bahkan membeberkan tentang mereka yang melontarkan kata-kata “rasis” yang ditujukan kepadanya. Andrew dituduh sebagai orang yang memiliki keterkaitan dengan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Kata-kata “rasis” yang terlontar seperti, “Lo, Ahok bukan?”, “Lo mau sipit apa mau merem?” seakan memberikan gambaran betapa urusan politik dapat memicu seseorang menjadi intoleransi.

Namun demikian, sebagai bagian dari bangsa yang multikulturalisme, kita seharusnya tidak mudah mempercayai informasi apapun yang justru berkaitan dengan unsur SARA yang tingkat kerawanan konfliknya paling tinggi. SARA ibarat bom waktu yang memiliki “sumbu pendek” sehingga mudah sekali meledak hanya dalam waktu singkat. Apalagi ditengah arus globalisasi yang menuntut keterbukaan informasi secara lebih cepat dan mudah. 

Keberadaan media sosial (medsos) yang menyebarkan segala macam informasi secara viral terkadang seringkali membutakan akal kita dan tunduk pada serangkaian informasi yang tidak jelas asal muasalnya. Media sosial adalah komunitas “antah berantah” yang perlu dikawal oleh akal dan pengetahuan kita untuk dicari kebenarannya. Tapi yang terjadi sejauh ini, kita hanya “tunduk” pada medsos sehingga mudah sekali mem-forward beragam informasi yang justru dapat memicu banyak konflik di masyarakat.

Banyak orang yang beranggapan bahwa membangun toleransi itu sangat sulit karena toleransi ibarat buah durian yang jatuh dari langit. Ada keharusan negara untuk mengatur secara implisit bagaimana seharusnya sebuah toleransi itu dibangun. Sadar ataupun tidak, mindset kita memang sudah diisi oleh seperangkat konsep demokrasi yang bersifat prosedural, dimana mayoritas “mendominasi” minoritas. 

Lihat saja, bagaimana sebuah pemilu berjalan, pemilihan anggota legislatif, pemilihan gubernur dan lain-lain justru memperlihatkan kemenangan ada pada mayoritas suara terbanyak. Tidak peduli bagaimanapun caranya, yang penting dalam demokrasi yang ditunjukkan adalah “suara terbanyak” sebagai pemenang dalam setiap kontestasi.

Kasus Andrew yang menjadi viral di dunia maya dan banyak juga dibahas oleh media telah menjadi bahan diskusi yang tak jarang memicu perdebatan yang rawan konflik. Hal ini karena sosok Andrew yang di-bully secara rasis oleh sekelompok orang ketika di dalam bus, juga masih belum sepenuhnya terang informasi kebenarannya karena tetap harus dibuktikan oleh saksi bukan berdasarkan pengakuan saja. 

Kalaupun sudah terang benderang kasusnya bahwa telah terjadi kekerasan berdasarkan rasisme, itu hanya dilakukan oleh oknum yang bisa jadi sedang mencari keuntungan ditengah “panas”nya suhu politik jelang Pilkada Jakarta. Ironi memang, disaat negeri ini mengagungkan demokrasi tetapi justru tidak mampu berdemokrasi hanya gara-gara perbedaan pilihan politik.

Diakui ataupun tidak, ketika kita ditanya apakah lebih mudah intoleransi apa toleransi? Maka jawabannya adalah kita lebih mudah intoleransi karena toleransi menyangkut banyak aspek yang harus kita terima. Faktanya, kita lebih mudah tersulut oleh informasi-informasi “picisan” yang mendiskreditkan seseorang, baik politisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, pengusaha bahkan seseorang yang tidak kita kenal sama sekali yang tiba-tiba kita bela seakan mereka adalah bagian dari diri kita sendiri. 

Inilah realitas masyarakat kita yang sesungguhnya betapa membangun sebuah toleransi perlu didasari oleh banyak hal, terutama disadarkan oleh kenyataan bahwa Indonesia adalah komunitas bangsa yang multikultural, multietnis, multiagama dan tentunya multipemikiran. Michael Walzer bahkan mengaskan bahwa toleransi adalah keniscayaan dalam ruang individual juga ruang publik karena toleransi sendiri bertujuan untuk membangun hidup damai (peacefull coexistance) diantara pelbagai kelompok masyarakat ditengah pelbagai perbedaan budaya, sejarah dan identitas.  

Toleransi dengan demikian menuntut penerimaan kita akan banyak hal, terutama segala hal yang berkaitan dengan perbedaan. Toleransi seharusnya dapat membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap, baik itu karena adanya perbedaan, keragaman, atau pengakuan atas hak dan eksistensi orang lain yang berbeda dengan diri kita. Tuhan menciptakan manusia itu berbeda-beda dari segi kebiasaan, budaya bahkan dari segi fisik tidak ada yang sama. 

Penerimaan terhadap aspek perbedaan apapun yang ada dalam diri manusia harus ditumbuhkembangkan jika ingin membentuk sebuah bangsa yang toleran. Tingkat toleransi yang maksimal juga akan melahirkan bangsa dengan tingkat keadaban dan peradaban yang baik dan maju. Jangan sampai kenyataan toleransi yang ada saat ini seakan-akan seperti tidak ada, atau dalam pepatah Arab disebut, “wujuduhu ka ‘adamihi”. Toleransi jangan hanya sekedar retorika yang digembor-gemborkan banyak pihak tapi miskin soal pelaksanaannya.

Wallahu a’lam bisshawab 

 Facebook        Twitter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun