Perjalanan bangsa ini dalam banyak hal telah dapat diprediksi, yaitu menjadi bangsa yang gandrung dalam pemanfaatan kemajuan bidang teknologi, informasi dan komunikasi (TIK). Pesatnya perkembangan TIK telah merubah kondisi dan perilaku bangsa ini cenderung lebih instan, karena kecanggihan teknologi banyak yang menggantikan peran-peran tertentu yang biasanya dilakukan “secara fisik” oleh manusia digantikan oleh peran digitalisasi teknologi.
Banyak hal yang memudahkan akibat majunya TIK, tetapi secara tidak langsung, peran-peran signifikan manusia secara nyata pelan-pelan bergeser hanya sekedar menjadi aktor-aktor virtual dalam dunia digital. Identitas manusia bahkan saat ini sangat ditentukan oleh setiap akun yang dimilikinya dalam dunia maya. Bahkan, identitas-identitas dalam akun tersebut tidak sepenuhnya original mewakili seseorang sebagaimana halnya dalam dunia nyata, tetapi adakalanya akun yang dimiliki seseorang justru untuk menutupi identitas asli yang dimilikinya.
Perkembangan realitas sosial yang dulunya sangat dibatasi oleh wilayah fisik, kini bisa saja dengan mudah diukur dan ditentukan oleh angka-angka secara virtual tanpa menghadirkan dunia fisik. Perkembangan teknologi informasi tanpa sadar telah merubah perilaku sosial, ekonomi, politik bahkan mungkin agama.
Pesatnya dunia digital telah membuka jalan kemudahan untuk akses beragam informasi dalam banyak hal sehingga batasan-batasan fisik, baik jarak, waktu atau tempat bukan lagi menjadi alasan keterbatasan manusia. Globalisasi dan modernisasi yang ditandai oleh pesatnya perkembangan teknologi digital di satu sisi mempermudah akses publik dalam memperoleh informasi apapun, meskipun disisi lain kemudahan teknologi tak jarang dipergunakan sebagai ceruk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu untuk menanamkan informasi kejahatan, kebencian atau kesesatan yang dinilai dapat membuat gaduh publik, tidak hanya dalam dunia maya tetapi juga ekses kelanjutannya terhadap dunia nyata.
Banyak hal positif yang telah diraih dari pesatnya perkembangan TIK tetapi tak jarang pula keberadaannya memberikan dampak negatif kepada publik. Seperti halnya teknologi yang melekat di ranah media sosial (medsos) yang saat ini justru menjadi tren yang selalu memperlihatkan peningkatan penggunanya dalam masyarakat Indonesia.
Sampai tahun 2015 saja, dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 255 juta, 72 juta orang adalah pengguna aktif medsos dan setengah diantaranya mengakses medsos melalui gadget yang mereka miliki. Ruang publik yang bernama medsos ini cenderung dijadikan semacam viral informasi yang tanpa batas dan sulit untuk dibendung penyebarannya. Padahal informasi-informasi tertentu yang tersebar secara cepat dalam ranah medsos masih perlu diuji tingkat kebenaran dan validitasnya, oleh karena itu tetap dibutuhkan “kecerdasan faktual” yang bisa menjadi filter yang berasal dari diri manusia itu sendiri. Keberadaan medsos sebagai jaringan informasi terbesar dan tercepat aksesnya justru tak jarang pada akhirnya menimbulkan ketegangan dan konflik dalam masyarakat.
Jika dahulu konflik sosial karena terjadi “gesekan” secara fisik antarindividu atau kelompok dalam sebuah realitas masyarakat, maka saat ini gesekan dan konflik bisa saja timbul berawal dari penyebaran informasi viral di medsos dan meluas menjadi konflik sosial secara fisik dalam masyarakat. Hal ini tentu saja telah merubah pergeseran realitas sosial yang ada saat ini bahwa tidak selamanya ketegangan dan konflik dimulai dari gesekan secara fisik, tetapi bisa dipicu oleh informasi-informasi yang tersebar secara daring dan diakses secara viral oleh publik. Umumnya, informasi-informasi yang mudah membuat ketegangan dan bahkan konflik adalah informasi-informasi yang memiliki nuansa Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
Beberapa tahun terakhir ini kita disajikan oleh beragam informasi yang mengusik banyak pihak, terutama informasi yang mengandung hasutan dan kebencian terhadap kelompok atau agama tertentu. Adakalanya konflik-konflik dan ketegangan sosial yang awalnya bersifat lokal, tiba-tiba menjadi sebuah gejala nasional akibat pemanfaatan medsos yang dihadirkan secara viral oleh publik. Di Indonesia, beberapa kasus konflik sosial yang bernuansa SARA yang pada awalnya bersifat lokal, seringkali meluas menjadi konflik berkepanjangan ketika beralih ke medsos atau sebaliknya informasi viral yang disebarkan melalui medsos justru menjadi konflik sosial secara fisik seperti kasus pembakaran Vihara di Tanjung Balai, Medan. Oleh karena itu, yang diperlukan saat ini adalah kedewasaan publik dalam menyerap beragam informasi yang di era digital justru semakin sulit untuk dibendung.
Saat ini medsos dan beragam komunitas daring seringkali dimanfaatkan untuk saling bertukar informasi atau data antarindividu atau beragam kelompok tertentu dalam masyarakat. Bahkan, komunitas daring yang terbentuk dengan membawa latar belakang sosial atau agama tertentu, terkadang memberikan kesan ekslusif sebagai wadah bagi kelompok kepentingan, baik politik, sosial maupun agama. Tidak menutup kemungkinan bahwa di setiap kelompok ekslusif yang mereka bangun, justru gemar melakukan pembenaran bagi komunitasnya sendiri sehingga komunitas lain pada tahap tertentu dianggap salah.
Di era globalisasi saat ini, sebuah komunitas sosial yang bernuansa primordial, kesukuan atau keagamaan tidak harus dibentuk berdasarkan pertemuan atau perkenalan secara fisik, namun cukup dengan memiliki akun virtual, sebuah komunitas ekslusif bisa terwujud dan dapat secara cepat membangun komunikasi satu sama lain. Kesan-kesan yang muncul kemudian adalah bahwa komunitas sosial yang dibangun berdasarkan orientasi keagamaan tampak lebih ekslusif dibanding komunitas lainnya yang ada dalam sebuah komunitas virtual.
Memang, membangun rasa saling menghargai atau toleransi terhadap setiap perbedaan yang terjadi dalam suatu komunitas sosial saat ini jauh lebih sulit dibanding sebelum maraknya penggunaan teknologi digital. Ketegangan atau konflik sosial yang terjadi sebelum era digital, cenderung lebih mudah diatasi karena keterbatasan penyebaran informasi. Namun di era digitalisasi seperti saat ini, sentimen keagamaan secara pribadi dalam bentuk virtual misalnya, bisa saja memicu konflik sosial yang justru bisa lebih luas dan terjadi dalam dunia nyata.
Realitas sosial kita saat ini memang terkesan rumit: disatu sisi membutuhkan TIK sebagai model kemudahan interaktif secara sosial yang mudah dan menguntungkan namun disisi lain justru muncul persoalan-persoalan baru yang timbul dan mengganggu stabilitas tatanan sosial yang sudah ada. Oleh karena itu, perlu adanya kedewasaan masyarakat yang ditopang dengan seperangkat regulasi dari pemerintah yang mengatur, membatasi dan mengarahkan teknologi agar lebih memiliki nilai tepat guna dan bermanfaat untuk publik.
Membangun toleransi di era digital sebenarnya tidak hanya terbatas pada toleransi agama atau antarumat beragama, tetapi lebih luas terhadap bagaimana membina kedewasaan masyarakat dalam mencerna beragam informasi yang diperoleh sehingga siap menerima perbedaan pendapat dalam hal apapun. Keberadaan agama justru seharusnya dapat menjadi pengikat yang paling kuat terhadap solidaritas sosial karena adanya “ikatan iman” yang terbentuk diantara para pemeluknya, terlebih di era globalisasi seperti sekarang ini.
Toleransi agama hendaknya dibangun berdasarkan pemahaman terhadap “kesamaan iman” bukan berdasarkan perbedaan pemahaman keagamaan. Perbedaan dalam hal apapun adalah sesuatu yang given dari Tuhan bahkan merupakan sebuah anugerah Tuhan yang diberikan kepada umat manusia. Jika setiap individu dalam realitas sosial dapat menjunjung tinggi setiap perbedaan yang ada, maka toleransi akan lebih mudah dibangun dari sini tanpa tergantung perubahan zaman.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H