Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekuatan Kita adalah Keberagaman dan Perbedaan

2 Agustus 2016   15:54 Diperbarui: 2 Agustus 2016   16:01 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ungkapan Presiden Joko Widodo yang saya kutip dan dijadikan judul dalam tulisan ini seharusnya dapat memberikan kesadaran yang mendalam bagi seluruh bangsa Indonesia bahwa inti kekuatan dari bangsa ini adalah kesatuan dalam keragaman. Indonesia sejak zaman Majapahit merupakan gugusan pulau-pulau yang mampu bersatu dalam keragaman dan membentuk Nusantara, bahkan berdirinya negara ini juga merupakan sebuah keinginan bersama atas dasar keragaman tetapi memiliki semangat yang sama, yaitu persatuan.

Sulit mencari negara dimanapun yang bersatu dalam keragaman jutaan pulau yang terpisah-pisah, dengan perbedaan budaya, adat istiadat, bahasa bahkan agama tetapi berhasil dipersatukan seperti di Indonesia. Jika tidak ada lagi semangat  keberagaman dan tidak sanggup menerima perbedaan, maka Indonesia niscaya hanya tinggal sebuah nama yang mungkin sekedar menjadi sejarah dalam ingatan diri kita masing-masing.

Namun demikian, proses transformasi sosial yang begitu cepat akibat arus globalisasi telah menggeser fungsi-fungsi sosial menjadi kapital sehingga yang terbentuk adalah sebuah masyarakat yang lebih mementingkan keuntungan individual atau kelompok bukan berdasarkan semangat kepentingan bersama.

Perubahan dari sebuah masyarakat tradisional ke masyarakat modern yang begitu cepat tampaknya tidak dibarengi oleh penguatan institusi-institusi sosial yang ada, sehingga kemudian membentuk sekat-sekat dalam kelompok masyarakat. Sekat-sekat itu bisa saja menjadikan serpihan-serpihan dalam masyarakat yang tercermin dalam kelompok primordialis, agamis bahkan politis. 

Kepingan-kepingan kelompok dalam masyarakat ini ketika terus dibiarkan akan memicu persoalan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) sehingga sangat mungkin menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan memporak-porandakan struktur dalam sebuah masyarakat.

Bom waktu yang bernama SARA itu sepertinya belakangan ini mulai disulut dan mempertontonkan letupan-letupan bertingkat, dari yang hanya letupan kecil hingga membesar. Sejak bulan Juli 2015 sampai Agustus 2016 telah terjadi serangkaian konflik yang bernuansa SARA di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. 

Dimulai oleh kerusuhan Tolikara pada Juli 2015 dengan dibakarnya sebuah Musholla menjelang Shalat Idul Fitri, dibakarnya Gereja di Aceh Singkil hingga kerusuhan di Tanjung Balai yang mengakibatkan terbakarnya enam Vihara dan Klenteng, menunjukkan bahwa masyarakat saat ini sudah terpecah-pecah dalam perbedaan sekat-sekat primordialis dan kehilangan jati dirinya sebagai sebuah masyarakat yang pluralis. 

Kesadaran masyarakat terhadap keberagaman dan perbedaan yang terkikis justru semakin mempersulit ketika dihadapkan oleh sebuah persoalan dalam masyarakat, terutama persoalan-persoalan yang mengandung unsur SARA.  

Padahal, pluralisme merupakan sebuah keniscayaan dalam masyarakat yang terbungkus dalam bingkai kesadaran bersama (collective conscience) yang dibangun berdasarkan seperangkat nilai, norma atau kepercayaan yang ada dalam setiap masyarakat. Kesadaran yang baik setiap individu dalam sebuah masyarakat terhadap kenyataan perbedaan dan keragaman yang ada dalam lingkungannya akan cenderung melahirkan sikap akomodatif dan mudah melebur dalam entitas masyarakat yang plural. 

Berbeda dengan kenyataan jika tingkat kesadaran masyarakat yang minim terhadap penerimaan perbedaan dan keragaman cenderung rumit dalam menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan. Timbulnya beragam konflik dalam masyarakat, termasuk yang ditimbulkan oleh sentimen SARA, merupakan wujud dari rendahnya kesadaran setiap individu dalam menerima setiap perbedaan dan keragaman yang ada. 

Kondisi ini seringkali diperumit oleh kenyataan para pemuka adat atau agama yang tidak memiliki sikap toleransi karena semangat keagamaan atau kepercayaan yang terlampau berlebihan atau melenceng dari arah yang sebenarnya.

Melihat dari serangkaian konflik yang terjadi dalam masyarakat yang disebut mengandung unsur SARA, ternyata unsur agama memang selalu menjadi pemicu utama bahkan ikut ambil bagian dalam situasi konflik yang terjadi. Padahal, agama semestinya bisa menjadi peredam dalam situasi konflik yang ada dalam masyarakat karena agama sejatinya datang untuk memperbaiki kondisi sosial ke arah penataan yang lebih baik. 

Dalam kajian sosiologi, peran agama dalam masyarakat dapat memperkuat identitas sosial sehingga sebuah masyarakat seharusnya bisa lestari menjaga solidaritas sosialnya yang dibangun berdasarkan semangat keagamaan. Namun kenyataannya saat ini, agama malah paling rentan dijadikan sentimen untuk membangkitkan nuansa konflik dalam masyarakat. 

Pembakaran Mushola, Gereja dan Vihara yang terjadi belakangan ini justru dipicu oleh sentimen keagamaan bukan berdasarkan sentimen sosial lainnya, seperti kesukuan, sentimen kelompok atau bentuk primordialisme lainnya.

Struktur dalam kemasyarakatan kita ini nampak rapuh sehingga mudah terkoyak-koyak hanya oleh sentimen keagamaan akibat ulah segelintir orang yang tidak bertanggungjawab. Lagi-lagi ini ekses dari tingkat pengetahuan yang minim yang diterima oleh individu dalam masyarakat. Dalam soal pemahaman keagamaan, masyarakat cenderung berprilaku taqlid (ikut-ikutan tanpa mempertanyakan kebenarannya) sehingga mudah untuk jatuh dalam suasana konflik. 

Konflik bahkan tidak hanya terjadi dalam sebuah masyarakat heterogen yang beragam budaya dan agama, tetapi dalam sebuah masyarakat homogen yang satu agama-pun jika prilaku taqlid dikedepankan maka dipastikan seringkali terjadi konflik. Dalam banyak hal, masyarakat Indonesia “kelihatannya” sangat ramah dan religius, tetapi sesungguhnya endapan bawah sadar kolektifnya menyimpan akumulasi nafsu hewani yang tertekan akibat penjajahan yang berkepanjangan, baik oleh orang asing maupun pemerintah sendiri. 

Jadi bisa dipastikan, bahwa banyak penyaluran-penyaluran aktivitas sosial yang seringkali tertekan atau bahkan tidak terwadahi sehingga mudah saja tersulut suasana konflik.

Melihat kasus beragam konflik yang didasari oleh sentimen agama di Indonesia, terlihat bahwa agama lebih mengedepankan wajah kultur bukan ekspresi kesalehan seseorang. Ketika agama sudah berbaur dengan kultur dalam masyarakat, maka cakupan dimensinya bertambah luas karena menyatu dengan identitas dan kultur lokal. 

Terkadang, ekspresi keagamaan seseorang bukan berdasarkan dorongan murni dari dalam, tetapi terkait dengan faktor eksternal yang menjadikan ekspresi keagamaan hanya sebatas ingin diterima dan diakui oleh lingkungan sosialnya. Wajah kultural dalam agama cenderung memperlihatkan simbol-simbol yang dibawa oleh masing-masing agama yang ada, bukan berdasarkan penghayatan atas nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. 

Kondisi seperti ini malah lebih diperparah oleh pemahaman keagamaan yang minim setiap individunya sehingga mudah sekali ketika sentimen keagamaan dibuat sebagai pemicu konflik. Semangat keagamaan tanpa ditopang oleh pengetahuan yang baik terhadap agama itu sendiri akan membuat masayarakat agamis semakin ekslusif dan tidak toleran terhadap keragaman dan perbedaan. 

Oleh karena itu, memberikan edukasi dan pendidikan yang layak dan merata bagi seluruh elemen masyarakat merupakan kunci utama dalam menata sebuah komunitas yang berperadaban, sehingga konflik-konflik yang bernuansa SARA pada akhirnya lebih mudah untuk diantisipasi sebelum terjadi.  

Wallahu a'lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun