Melihat dari serangkaian konflik yang terjadi dalam masyarakat yang disebut mengandung unsur SARA, ternyata unsur agama memang selalu menjadi pemicu utama bahkan ikut ambil bagian dalam situasi konflik yang terjadi. Padahal, agama semestinya bisa menjadi peredam dalam situasi konflik yang ada dalam masyarakat karena agama sejatinya datang untuk memperbaiki kondisi sosial ke arah penataan yang lebih baik.
Dalam kajian sosiologi, peran agama dalam masyarakat dapat memperkuat identitas sosial sehingga sebuah masyarakat seharusnya bisa lestari menjaga solidaritas sosialnya yang dibangun berdasarkan semangat keagamaan. Namun kenyataannya saat ini, agama malah paling rentan dijadikan sentimen untuk membangkitkan nuansa konflik dalam masyarakat.
Pembakaran Mushola, Gereja dan Vihara yang terjadi belakangan ini justru dipicu oleh sentimen keagamaan bukan berdasarkan sentimen sosial lainnya, seperti kesukuan, sentimen kelompok atau bentuk primordialisme lainnya.
Struktur dalam kemasyarakatan kita ini nampak rapuh sehingga mudah terkoyak-koyak hanya oleh sentimen keagamaan akibat ulah segelintir orang yang tidak bertanggungjawab. Lagi-lagi ini ekses dari tingkat pengetahuan yang minim yang diterima oleh individu dalam masyarakat. Dalam soal pemahaman keagamaan, masyarakat cenderung berprilaku taqlid (ikut-ikutan tanpa mempertanyakan kebenarannya) sehingga mudah untuk jatuh dalam suasana konflik.
Konflik bahkan tidak hanya terjadi dalam sebuah masyarakat heterogen yang beragam budaya dan agama, tetapi dalam sebuah masyarakat homogen yang satu agama-pun jika prilaku taqlid dikedepankan maka dipastikan seringkali terjadi konflik. Dalam banyak hal, masyarakat Indonesia “kelihatannya” sangat ramah dan religius, tetapi sesungguhnya endapan bawah sadar kolektifnya menyimpan akumulasi nafsu hewani yang tertekan akibat penjajahan yang berkepanjangan, baik oleh orang asing maupun pemerintah sendiri.
Jadi bisa dipastikan, bahwa banyak penyaluran-penyaluran aktivitas sosial yang seringkali tertekan atau bahkan tidak terwadahi sehingga mudah saja tersulut suasana konflik.
Melihat kasus beragam konflik yang didasari oleh sentimen agama di Indonesia, terlihat bahwa agama lebih mengedepankan wajah kultur bukan ekspresi kesalehan seseorang. Ketika agama sudah berbaur dengan kultur dalam masyarakat, maka cakupan dimensinya bertambah luas karena menyatu dengan identitas dan kultur lokal.
Terkadang, ekspresi keagamaan seseorang bukan berdasarkan dorongan murni dari dalam, tetapi terkait dengan faktor eksternal yang menjadikan ekspresi keagamaan hanya sebatas ingin diterima dan diakui oleh lingkungan sosialnya. Wajah kultural dalam agama cenderung memperlihatkan simbol-simbol yang dibawa oleh masing-masing agama yang ada, bukan berdasarkan penghayatan atas nilai-nilai keagamaan yang dianutnya.
Kondisi seperti ini malah lebih diperparah oleh pemahaman keagamaan yang minim setiap individunya sehingga mudah sekali ketika sentimen keagamaan dibuat sebagai pemicu konflik. Semangat keagamaan tanpa ditopang oleh pengetahuan yang baik terhadap agama itu sendiri akan membuat masayarakat agamis semakin ekslusif dan tidak toleran terhadap keragaman dan perbedaan.
Oleh karena itu, memberikan edukasi dan pendidikan yang layak dan merata bagi seluruh elemen masyarakat merupakan kunci utama dalam menata sebuah komunitas yang berperadaban, sehingga konflik-konflik yang bernuansa SARA pada akhirnya lebih mudah untuk diantisipasi sebelum terjadi.
Wallahu a'lam bisshawab