Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Soal Jalur Politik, Ahok Belajar dari Aceng Fikri

31 Juli 2016   09:05 Diperbarui: 31 Juli 2016   15:01 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagi-lagi soal jalur politik perseorangan (independen) mulai banyak digugat. Bukan karena mekanismenya yang baru dalam iklim demokrasi, tetapi karena pertimbangan hitung-hitungan kalah-menang dalam memperoleh kekuasaan politik. Ciri sebuah negara demokrasi modern adalah terbentuknya partai politik (parpol) yang dipergunakan sebagai kendaraan yang akan mengantarkan seseorang mencapai kekuasaan. Stabilitas sebuah negara dapat dilihat oleh seberapa banyak parpol yang mewakili setiap kepentingan politik masyarakatnya. 

Dalam kondisi yang lebih maju, negara yang sedikit jumlah parpolnya cenderung menunjukkan stabilitas politiknya, berbeda dengan negara lainnya yang memiliki banyak parpol. Amerika dan Inggris adalah diantara negara yang menganut sistem partai tunggal, karena hanya ada dua parpol besar yang hidup dalam sistem kepolitikan di negara ini. Meskipun banyak parpol dalam sebuah sistem politik tidak selalu linier terhadap instabilitas politik, tetapi paling tidak, akan lebih mudah mengembangkan stabilitas dibanding menyelesaikan banyak perbedaan dalam sebuah negara yang menganut multi partai.

Hingga saat ini, parpol selalu menjadi primadona dalam rangka memperoleh kekuasaan. Setiap orang yang ingin berkuasa dalam sebuah sistem demokratis, maka secara serta merta dia harus menggunakan parpol sebagai kendaraan politik satu-satunya untuk meraih kekuasaan. Jika tidak, maka dia harus menanggung segala konsekuensinya: dikalahkan dalam pemilu, dijegal, dimusuhi, bahkan akan dicari kesalahannya ketika menang untuk di-impeach agar turun dari kekuasaan politiknya. Dalam beberapa hal, kasus menangnya beberapa kandidat dengan menggunakan jalur independen di Indonesia, baik pada tingkat bupati, walikota atau gubernur mau tidak mau harus bisa berdamai dengan parpol atau paling tidak mau didukung secara politik oleh parpol yang berkuasa di parlemen. Ketika seorang kandidat yang berhasil menang melalui jalur independen tetapi tidak mau berdamai dengan parpol, maka siap-siap segala upaya kebijakannya dijegal, bahkan upaya-upaya impeachment dari parpol akan selalu membayangi dalam setiap langkah politiknya.

Pertimbangan-pertimbangan politik seperti inilah yang nampaknya membuat kandidat petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berpikir ulang soal jalur independen yang sempat dipilihnya untuk berlaga di kontestasi Pilkada Jakarta. Pilihan jalur parpol di detik-detik terakhir masa pencalonan gubernur DKI Jakarta ternyata dipilih Ahok bukan melanjutkan kegigihannya di saat-saat awal pencalonan dirinya yang konsisten di jalur non-parpol.

Rasio kemenangan lewat jalur parpol tentunya lebih mudah diukur, apalagi parpol telah memiliki seperangkat mesin politik yang mampu diarahkan, dijalankan bahkan dimanipulasi untuk meraih kekuasaan. Pilihan mekanisme politik Ahok yang berubah dari jalur independen ke jalur parpol tentunya bukan sebuah kebetulan apalagi coba-coba, tetapi berdasarkan rasionalisasi politik yang terukur. 

Dukungan Partai Golkar sebagai parpol besar yang masih berkuasa secara politik di Indonesia, menuntut Ahok untuk berpikir ulang mengenai jalur independen yang dipilihnya. Politik memang dinamis, segala sesuatu dapat berubah bahkan dalam hitungan detik. Kenyataannya, dukungan resmi Golkar terhadap Ahok pada Pilkada Jakarta sanggup merubah pilihan politik seseorang, bahkan pada detik-detik terakhir sekalipun.

Pilihan jalur parpol dan bukan jalur independen yang dilakukan Ahok seakan memberikan kesan politik, bahwa sebenarnya jalur independen dalam sebuah sistem demokrasi belum sepenuhnya teruji bahkan seringkali mengalami pengebirian politik dan kegagalan dalam mempertahankan kekuasaan. 

Kasus Bupati Garut, Aceng Fikri yang menang melalui jalur independen tetapi di impeach oleh parpol di parlemen membuktikan bahwa jalur independen sehebat apapun yang telah dibangun ternyata masih menyisakan celah kelemahan cukup banyak. Meskipun pada tahap pemilihan menang, tetapi belum tentu roda pemerintahan akan berjalan dengan mulus. 

Bisa jadi bahwa Ahok juga belajar dari kegagalan Aceng Fikri yang pernah menang melalui jalur independen. Menang melalui jalur independen merupakan satu hal, tetapi mempertahankan kekuasaan adalah hal lain yang menuntut beragam upaya transaksionalisasi politik: konsensus politik, pembagian kekuasaan, membangun kebijakan dan lain-lain.

Implikasi politik yang akan diraih oleh sementara kandidat yang memilih jalur independen sangatlah rumit, karena seseorang yang menang menggunakan jalur non-parpol ini harus seseorang yang piawai atau benar-benar seorang politisi ulung. Jika tidak, maka sangat mungkin umur kekuasaan politiknya tidak akan lama karena parpol-parpol yang ada di parlemen sudah pasti menjegalnya. Kebanyakan yang menjadi pertimbangan para kontestan politik adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan bukan bagaimana menang disaat pemilu berlangsung. 

Pemenangan dalam pemilu dapat diatur dengan mudah apalagi sistem demokrasi saat ini lebih mengedepankan kandidat dengan suara terbanyak, bukan kandidat yang terbaik. Justru yang menjadi perhatian utama setiap kontestan politik adalah bagaimana kekuasaan ini bisa berlangsung lebih lama, satu periode belumlah cukup, bila perlu dua periode dapat dipertahankan.

Konsep inilah yang seringkali dipergunakan oleh siapapun yang sudah berkuasa di negeri, bahkan jauh-jauh hari sebelum digelar pemilu, para penguasa politik sudah membuat strategi-strategi agar periode berikutnya bisa memenangkan pemilu walaupun harus menggunakan cara-cara yang tidak demokratis.

Dinamisasi politik memang dapat diukur meskipun terkadang arah pilihannya sulit ditebak. Seseorang yang mendukung si A bisa jadi dalam kenyataannya akan mendukung si B terutama ketika  berada di bilik suara. Politik itu menuntut keberpihakan, sangat sulit jika berpolitik tetapi independen. Politik dan independen menyiratkan dua makna berbeda yang ketika digabungkan maka akan melahirkan makna yang absurd, apalagi ketika independen dihadapkan dengan politik kekuasaan.

 Pilihan Ahok yang maju melalui jalur parpol adalah bentuk dinamisisasi politik sekaligus rasionalisasi politik, karena independen dalam politik tidak berarti sepenuhnya “bersih” dari unsur parpol atau kontra terhadap parpol. Ahok lahir dan besar secara politik adalah karena parpol, buka karena dirinya sendiri apalagi karena Teman Ahok yang selama ini setia mendukungnya.

 Hanya saja, Ahok nampaknya belum berani untuk fight secara independen melawan, berkompromi, atau berkonflik secara terbuka dengan parpol, karena parpol-parpol merupakan kendaraan politik yang saat ini berjasa mengantarkan dirinya berkuasa. Intinya, alternatif dalam memperoleh kekuasaan politik melalui jalur independen di negeri ini lebih sering gagal daripada berhasilnya.

Wallahu a’lam bisshawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun