Pada hari ini, 22 Juni disebut sebagai hari lahirnya Piagam Jakarta dari sebuah rentetan lahirnya Pancasila yang digagas oleh M. Yamin dan Soekarno mengenai ide pelembagaan sebuah dasar negara. Piagam Jakarta hakikatnya merupakan teks deklarasi kemerdekaan Indonesia yang didalamnya terdapat manifesto politik sekaligus memuat dasar negara Republik Indonesia.
Isi dari Piagam Jakarta kemudian dijadikan preambul dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 setelah dilakukan revisi terhadap beberapa kalimat yang kurang menunjukkan kepentingan nasional. Sejak 1 Juni sampai 22 Juni 1945 ditengarai telah terjadi perdebatan intelektual dan cerdas antara para pendiri bangsa ini. Hasil perdebatan yang hebat diantara para pendiri bangsa ini kemudian menghasilkan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia dan UUD 1945.
Perdebatan mengenai Piagam Jakarta yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini kemudian secara spektrum mengerucut kepada dua mainstream pemikiran, yaitu Islam dan sekuler. Mainstream pertama diwakili oleh mereka yang terkoneksi secara luas dengan politik Islam dan dunia pesantren, sedangkan mainstream kedua lebih merupakan wakil dari lulusan-lulusan sekolah Eropa-Amerika yang cenderung bernuansa sekuler dalam merumuskan landasan dasar negara.
Perdebatan ini kemudian lebih difokuskan dengan membentuk Panitia Sembilan yang diwakili oleh Soekarno (Ketua), Mohammad Hatta (Wakil Ketua) dengan beberapa anggota yaitu Achmad Soebardjo, Mohammad Yamin, KH Wahid Hasyim, Abdoel Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H Agus Salim dan Alexander Andries Maramis.
Kesembilan tokoh ini kemudian bekerja secara maksimal merumuskan dasar-dasar negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Terdapat Pancasila prarevisi yang tertuang dalam pembukaan tersebut yang kemudian satu hari setelah Proklamasi, redaksi pada preambul,…”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” dipotong dan disederhanakan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penghapusan redaksi ini bukan berdasarkan karena adanya tuntutan golongan sekuler tetapi lebih kepada sebuah kesadaran akan persamaan persepsi perjuangan yang juga dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia tanpa harus membedakan kepercayaan atau agama tertentu. Seluruh tokoh dalam elemen Panitia Sembilan menyadari sepenuhnya, bahwa Indonesia merdeka didasarkan pada semangat perjuangan kemerdekaan nasional yang melibatkan seluruh elemen bangsa dari Sabang sampai Merauke.
Meskipun sebenarnya semua pihak telah sepakat dengan rumusan yang memberi afirmasi pada kebutuhan khusus kaum Muslimin, mengingat besarnya pengorbanan mereka dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Dalam berbagai catatan sejarah, tidak ditemukan adanya penolakan oleh kelompok agama tertentu yang menyoal redaksi teks dalam prarevisi Pancasila yang mengakomodir kebutuhan khusus kaum Muslimin. Kalangan agama, khususnya Islam lebih mengedepankan prinsip berbangsa dan bernegara berdasarkan nasionalisme bukan agama, sehingga usulan untuk kementrian yang mengurusi masalah agama Islam (Islamic Affairs) pada akhirnya diperluas menjadi kementrian agama.
Sebagaimana telah disebut diatas, terdapat Panitia Sembilan yang merepresentasikan seluruh rakyat Indonesia, yang jika dikerucutkan mewakili kelompok Islam dan sekuler. Soekarno, Hatta, M Yamin, Achmad Soebardjo dan AA Maramis mewakili kelompok sekuler dan Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Abikoesno merupakan representasi dari kelompok pemikiran Islam. Dalam banyak hal, beberapa anggota Panitia Sembilan memiliki relasi ideologis yang jarang diungkap oleh publik.
Soekarno misalnya, dia memiliki kedekatan ideologis dengan Agus Salim dan Abikoesno karena mereka dibesarkan oleh latar ideologis yang dibentuk oleh Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto. Abikoesno diketahui sebagai adik kandung Tjokroaminoto dan penerus Sarekat Islam pasca wafatnya Tjokroaminoto. Bahkan Abikoesno malah memiliki hubungan keluarga dengan Soekarno karena anak perempuan Tjokroaminoto dinikahi Soekarno.
Adapun pertemuan Soekarno dengan beberapa tokoh pergerakan nasional seperti M. Yamin dan Hatta sudah lebih dahulu dilakukan, disaat menjamurnya Perhimpunan Indonesia untuk kemerdekaan sejak tahun 1928. M. Yamin dan Hatta merupakan pemegang estafet kepemimpinan PNI yang didirikan Soekarno pada saat di Bandung. Kontak antara Soekarno, Yamin dan Hatta telah lama dibangun dalam rangka pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga sangat mungkin mereka memiliki kedekatan hubungan ideologis, dalam bingkai pemikiran sekuler-nasionalis dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia.
Adapun AA Maramis dan Achmad Soebardjo dikenal sebagai mahasiswa Universitas Leiden, Belanda yang juga sama dengan Hatta telah lebih dahulu bergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Ketiga serangkai ini giat menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan pembebasan dari imperialisme dan penjajahan asing yang masih kuat mencengkeram kedaulatan Indonesia waktu itu.
Hubungan-hubungan pribadi mereka selama di Belanda telah membentuk ideologi nasionalisme yang kuat dalam hal perjuangan kemerdekaan Indonesia, hingga sampai saatnya mereka bertemu kembali di Indonesia dan bersama-sama duduk di Panitia Sembilan merumuskan dasar-dasar negara Republik Indonesia.
Adapun Agus Salim, Kahar Muzakkir dan Wahid Hasyim pembangunan intelektualitasnya lebih banyak bersinggungan dengan Indonesia, Kairo dan Mekkah. Agus Salim dikenal sebagai wartawan kawakan yang sangat kritis terhadap penjajahan. Beberapa lama pernah tinggal di Mekkah dan berguru kepada Syekh Achmad Khatib Minangkabawi yang juga guru dari KH Hasyim Asy’ari ayahanda dari KH Wahid Hasyim.
Wachid Hasyim merupakan wakil autentik dari NU, dimana membawa suara pesantren dan Islam kultural. Berbeda dengan Kahar Muzakkir yang pernah menjadi mahasiswa Kairo, Mesir yang merupakan representasi dari Muhammadiyah tulen. Agus Salim dan Kahar Muzakkir pernah menggalang dukungan untuk kemerdekaan Indonesia di Timur Tengah. Kahar Muzakkir juga ditengarai dekat dengan kelompok Ikhwanul Muslimin pimpinan Hasan al-Banna yang terkenal di Mesir sebagai gerakan politik yang mendorong negara-negara Arab agar mendukung kemerdekaan Indonesia.
Dilihat dari latar belakang pemikiran dan ideologi yang ada pada Panitia Sembilan perumus Piagam Jakarta, terdapat relasi yang kuat dalam inspirasi mereka yang terkait dengan Barat, Timur Tengah dan Nusantara. Relasi ketiganya secara langsung berpengaruh terhadap pola pemikiran mereka dalam menentukan bagaimana konsep rumusan ideologi negara dapat terealisasikan dalam konteks bangunan negara kesatuan Republik Indonesia.
Perdebatan yang cerdas diantara mereka tidaklah pernah mempersoalkan agama, tetapi lebih mengedepankan ide-ide umum yang bersifat nasional tetapi tetap diwarnai oleh nilai-nilai moral yang diambil dari agama.
Panitia Sembilan kemudian berhasil menandatangani Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dan melakukan revisi terhadap salah satu sila pertama Pancasila, dengan hanya menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia merdeka. NKRI pada akhirnya menjadi kebutuhan bersama bangsa Indonesia yang didasarkan pada kecintaan dan rasa yang besar terhadap nasionalisme.
Wallahu a'lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H