Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

“Ruwahan” Sebagai Pembuka Gerbang Bulan Suci

4 Juni 2016   23:28 Diperbarui: 4 Juni 2016   23:35 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedatangan bulan Ramadhan dianggap sebagai “tamu agung” bagi seluruh umat muslim, tak terkecuali di Indonesia. Banyak tradisi yang dilakukan masyarakat muslim dalam menyambut masuknya Bulan Suci Ramadhan. Di beberapa daerah di Indonesia, khususnya Jakarta, tradisi menyambut Ramadhan dilakukan bahkan 15 hari sebelumnya yang kemudian lebih dikenal dengan istilah “ruwahan”. 

Istilah ini dikenal di masyarakat Betawi sebagai ajang silaturrahim atau saling berkunjung antar keluarga, baik dengan mereka yang masih hidup maupun yang sudah wafat. 

Padahal melihat dari asal katanya, “ruwah” dalam bahasa Arab berati “arwah” sehingga istilah Ruwahan dipakai oleh masyarakat Betawi untuk berkunjung atau berziarah ke makam orang tua mereka atau leluhur mereka. Tradisi seperti ini dilakukan bersamaan dengan datangnya Bulan Ramadhan, biasanya pada 15 sampai 2 hari menjelang Ramadhan.

Masyarakat Muslim meyakini, bahwa bulan Ramadhan adalah bulan suci, sehingga mereka harus suci terlebih dahulu sebelum sampai apalagi memasuki “gerbang”nya. Tradisi mensucikan diri mereka lakukan dengan cara saling memaafkan antar sesama, berdoa bersama dan mengunjungi pemakaman-pemakaman keluarga mereka untuk mendoakan sekaligus silaturrahim. 

Sebab dalam ajaran Islam, silaturrahim yang diajarkan tidak hanya sekedar menjalin pertemuan dan saling berkunjung kepada yang masih hidup saja, tetapi bersilaturrahim juga dianjurkan kepada mereka yang sudah wafat. Ternyata tidak hanya di masyarakat Betawi, tradisi ruwahan juga dikenal di beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. 

Intinya tradisi ini banyak memiliki kesamaan dan nilai-nilai historis yang patut dilembagakan, karena tidak ada bulan semeriah bulan Ramadhan dalam hal kebaikan, dimana manusia berkumpul, saling bermaafan, berdoa bersama dan bersilaturrahim kecuali hanya di bulan suci.

Dalam ajaran Islam, mengapresiasi dan bergembira menyambut kedatangan bulan Ramadhan sudah dihitung sebagai pahala, apalagi ketika masuk dan melaksanakan ibadah puasanya dengan baik. Inilah yang kemudian dijadikan tradisi turun temurun dalam masyarakat Muslim bahwa memasuki bulan suci tidak sembarangan orang bisa masuk, kecuali memang dirinya telah “disucikan” terlebih dahulu sebelumnya. Proses “pensucian” menjelang Ramadhan dilakukan sebagian besar kalangan umat Islam melalui pengakuan atas kesalahan dirinya sendiri dan mengharap maaf dari orang lain. 

Tradisi saling memaafkan pada saat Ruwahan, dianggap sebagai tradisi baik karena hanya pada menjelang memasuki Ramadhan semua umat muslim bersilaturrahim, bertatap muka, saling mendoakan dan saling memaafkan. Konsep saling memaafkan (‘afiina aninnaas) digambarkan oleh kitab suci al-Quran sebagai ciri dari kesempurnaan manusia (taqwa). Dalam kitab suci al-Quran, jalan manusia menuju kesempurnaan harus dilewati oleh tiga kondisi: harus menafkahkan hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, mampu menahan amarah dan saling memaafkan antar sesama manusia (QS.  3: 134).

Bulan Ramadhan diyakini oleh umat Muslim sebagai bulan yang paling banyak memiliki relasi sosial dan sedikit hubungannya dengan ritus individual. Kita bisa melihat sejak awal penyambutannya, begitu banyak permohonan maaf baik secara langsung maupun tidak langsung yang terjadi dalam masyarakat. Belum lagi silaturrahim antarkeluarga, antarwarga, bahkan bersilaturrahim dengan mereka-mereka yang sudah tidak hidup lagi. 

Sebelum memasuki bulan suci, umat muslim semakin banyak yang membuka dirinya untuk jujur akan kesalahan-kesalahannya seraya mengharap maaf kepada sesama. Ketika sudah memasuki bulan suci Ramadhan, umat Muslim yang berpuasa dengan baik, tentunya akan lebih peka dengan kondisi-kondisi sosial masyarakat. 

Berapa banyak kemudian orang-orang lemah terbantu, fakir miskin tersantuni, anak-anak yatim terangkat karena memang ibadah puasa seseorang lebih dimanfaatkan untuk mencari kebaikan yang sifatnya sosial, bukan memperbanyak ritual individu hanya untuk kepentingan pribadi semata.

Dalam banyak hal, bulan Ramadhan banyak mendorong manusia untuk lebih peka, lebih sabar dan lebih sering berkomunikasi dengan masyarakat, keluarga dan lingkungan sekitarnya. Bulan Ramadhan tampak akan lebih hidup dengan nuansa-nuansa sosial-religius yang dibangun oleh mereka yang berpuasa. 

Hal ini dapat dilihat oleh munculnya tradisi “buka puasa” yang dilakukan secara bersama-sama, adanya manusia-manusia yang muncul lebih dermawan, masjid-masjid akan tampak ramai dan riuh bahkan sampai malam hari dan masih banyak sisi kehidupan sosial masyarakat yang tercipta oleh kedatangan bulan Ramadhan. 

Belum lagi diramaikan oleh acara-acara TV yang tentu memperpanjang jam tayangnya selama bulan suci dengan beragam acara dari mulai  sinetron, musik, talkshow, diskusi bahkan komedi semuanya bernuansa religius. Sosialitas dan religiusitas seperti yang tempak pada bulan Ramadhan tidak pernah kita jumpai lagi di bulan-bulan lainnya.

Jadi, momen datangnya bulan suci, harus dimulai dengan mensucikan diri kita dari berbagai khilaf, salah dan dosa yang sering kita perbuat. Meminta maaf kepada sesama adalah perintah dari agama dan itulah awal pensucian diri kita. Karena, ketika kita termaafkan, beban di hati akan kesalahan bisa  berkurang bahkan hilang sehingga secara spiritual hati kita yang selama ini menjadi cermin dari perbuatan kita sehari-hari telah tersucikan oleh kondisi saling memaafkan. 

Memang, meminta maaf itu hal yang mudah, tetapi memaafkan bisa menjadi hal yang sangat sulit bagi seseorang. Di bulan yang suci yang segera kita temui ini, marilah lepaskan beban dalam diri kita yang selama ini selalu mengganjal, melaui tradisi saling memaafkan. Selamat Berpuasa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun