Bagi umat Islam, puasa merupakan kewajiban agama yang harus dikerjakan, tanpa reserve. Kewajiban menjalankannya, lebih didasari oleh keyakinan, meskipun memang terdapat perintah Tuhan yang tertulis dalam kitab suci al-Quran mengenai kewajiban melaksanakan puasa. Perintah Tuhan yang tertulis dalam kitab suci al-Quran juga ditujukan kepada mereka yang “memiliki keyakinan” (ya ayyuha alladziina aamanuu).
Keyakinan menjalankan puasa sejatinya sudah tertanam dalam diri seorang muslim bahkan sejak masih dalam usia sangat belia. Para orang tua merekalah yang senantiasa mengajarkan agar berpuasa itu wajib dilaksanakan setiap bulan Ramadhan. Keyakinan seorang muslim yang begitu kuat terhadap agamanya dengan menjalankan puasa, berarti memang tidak ada faktor lain yang dapat menjelaskan kenapa seorang muslim itu berpuasa, selain keyakinan dalam dirinya yang mengikat sejak awal akibat pengaruh didikan keluarga dan lingkungannya.
Memang, keyakinan yang ada dalam diri manusia memiliki potensi kekuatan yang sangat dahsyat. Keyakinan biasanya selalu menyertai dan melekat terhadap setiap tindakan yang dilakukannya. Keyakinan seseorang terhadap sesuatu apapun itu, memang terkadang sulit dijelaskan oleh akal, tetapi kenyataanya, keyakinan justru merupakan inti kekuatan manusia yang terdalam.
Suatu perbuatan seseorang yang dilandasi oleh keyakinan yang kuat, cenderung menuai keberhasilan dan kesuksesan berbeda halnya jika perbuatan itu dikerjakan dalam kondisi keraguan. Keraguan justru membuat kesulitan manusia dalam menjalani hidup. Padahal, manusia secara umum menginginkan kebahagian dan cenderung menghindari setiap kesulitan dalam menjalani kehidupan.
Menurut Komarudin Hidayat, kepercayaan atau keyakinan itu akan mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan bagi seseorang, sehingga sulit untuk merubah keyakinan atau memaksa kepercayaan seseorang dalam hal apapun karena sangat berhubungan dengan kondisi ketenangan yang telah ia dapatkan. Anda mungkin dapat membayangkan, alangkah sulitnya ketika manusia hidup jika terus menerus dihantui oleh keraguan. Mau pergi ragu, mau makan ragu, mau tidur juga ragu. Keraguan jelas mendatangkan kesulitan dan kesengsaraan.
Padahal, keyakinan hidup kita ini, sadar atau tidak, banyak yang diserahkan sepenuhnya kepada supir, bank, restoran, pembantu atau dokter. Perbedaan antara keyakinan dan keraguan dapat dibayangkan ketika kita pergi ke sebuah restoran. Seseorang yang memiki keyakinan tentunya tidak akan bertanya apakah makanan tersebut bersih atau tidak, mengandung racunkah atau tidak. Namun, sulit seandainya jika keraguan malah selalu muncul dari dalam diri seseorang. Seperti misalnya bagaimana ketika kita sakit, lalu menemui dokter tetapi ragu kepada dokternya, atau ragu terhadap resep dan obat yang telah disarankan oleh dokter.
Keyakinan itu disengaja atau tidak telah terbentuk dalam diri manusia secara terus menerus, sebagaimana pengaruh yang berasal dari keluarga atau lingkungan sekitarnya. Kita tidak sedang terpaksa untuk yakin bahwa naik pesawat itu aman, tanpa harus ragu siapa pilot yang menerbangkannya. Kita juga yakin bahwa sebenarnya dokter itu bisa membantu menyembuhkan dan memberikan obat yang sesuai sehingga ketika meminumnya kita akan sembuh. Pergi ke restoran-pun demikian. Dengan hanya berdasarkan keyakinan, segala makanan yang terpajang dalam etalase restoran itu bisa kita pesan, tanpa harus ragu mengandung racun ataukah tidak, bersih ataukah tidak. Oleh karena itu, tepat jika dikatakan bahwa keyakinan itu mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan hidup.
Beragama juga bicara soal keyakinan. Karena jika orang meragukan agama, sudah pasti dia tidak akan mempercayai adanya Tuhan, bisa agnostik atau atheis. Keyakinan seseorang terhadap suatu agama sulit dijelaskan secara rasional, meskipun upaya merasionalisasi setiap esensi keagamaan sulit juga dihindarkan. Bagi seorang muslim, kegiatan ibadah seperi sholat atau puasa tidak bisa dirasionalisasikan, tetapi kegiatan ibadah itu dilaksanakan berdasarkan keyakinan seorang muslim terhadap ajaran agamanya.
Perintah-perintah Tuhan dalam kitab suci al-Quran diyakini oleh seorang muslim sebagai sebuah kebenaran yang absoulut sehingga mengikat terhadap keyakinan atau kepercayaan yang ada pada dirinya. Keyakinan atau kepercayaan telah meloncati pagar pembatas data empiris dan nalar kemanusiaan. Kita pasti yakin dan tahu siapa ayah dan ibu kita tanpa harus mempertanyakan lebih jauh atau meragukan apakah benar mereka ayah dan ibu kita.
Betapa kacaunya sebuah rumah tangga ketika setiap anak yang telah dilahirkan kemudian menuntut tes DNA untuk mengetahui secara empirik bahwa mereka adalah ayah dan ibu kita. Disinilah letak keyakinan dalam beragama dengan berbagai implikasi relasionalnya dengan kehidupan manusia.
Sama halnya dengan penjelasan soal keyakinan manusia diatas, puasa merupakan bagian dari entitas agama yang diyakini oleh setiap pribadi muslim sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan setiap bulan Ramadhan. Karena berdasar keyakinan dan keimanan, maka kita tidak bisa bertanya kenapa puasa? Atau untuk apa puasa? Bahkan dalam pertanyaan lebih ekstrem, memang puasa bisa masuk surga? Dalam kehidupan beragama, faktor keyakinan merupakan kondisi yang paling vital dan fundamental yang ada dalam diri seseorang.
Ada orang yakin kepada Tuhan bahwa Dia adalah penciptanya, tetapi kemudian tidak lagi punya hubungan dengan-Nya, ibarat tukang jam yang setelah selesai memperbaiki jam tersebut, maka mekanisme berjalannya jam diserahkan secara otomatis kepada jam itu sendiri. Ada juga yang yakin kepada Tuhan, tetapi seringkali mengindahkan perintah-perintah-Nya. Seperti misalnya orang tahu bahwa korupsi itu dibenci dan dilarang Tuhan, tetapi orang tetap saja melakukannya. Ada juga yang memiliki keyakinan sepenuhnya kepada Tuhan seraya taat menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya.
Oleh karena itu, puasa memiliki keterkaitan erat dengan keyakinan manusia. Keyakinan yang timbul dan dapat mendorong keberhasilan dan kesuksesan seseorang dalam hal meneladani sifat-sifat Ketuhanan. Berpuasa tidak lain adalah proses meneladani sifat-sifat Ketuhanan, sebab misi ketakwaan yang hendak dicapai oleh seseorang yang berpuasa menempatkan dia pada tempat yang dekat dengan Tuhannya.
Untuk dapat dekat dengan Tuhan, tentu seseorang harus senantiasa meneladani sifat-sifat Ketuhanan, seperti sabar, menahan nafsu, tidak mudah marah, pemaaf atau tidak berkata-kata kasar apalagi memfitnah atau berbohong.
Semua sifat-sifat kemanusiaan yang cenderung merusak “dipaksa” untuk berhenti selama berpuasa. Untuk dapat menggerakkan seseorang mampu meneladani sifat-sifat Ketuhanan adalah keyakinan dan puasa adalah salah satunya.
Wallahu a’lam bisshawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H