Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membangun Kualitas Pendidikan yang Berorientasi Universal

22 Mei 2016   14:28 Diperbarui: 23 Mei 2016   10:32 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai informasi data saja, bahwa Kemendikbud mencatat pada 2015 dari 6.982 kecamatan di Indonesia, sebanyak 635 kecamatan masih belum memiliki SMA sederajat. Tak hanya sekolah-sekolah yang kurang, ruang-ruang kelas di sekolah yang ada saja banyak yang dilaporkan rusak. Pihak Kemendikbud menyatakan bahwa ruang kelas yang rusak berjumlah 149.552 dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari tingkat SD sampai SMP. 

Kondisi ini belum diperparah oleh kondisi guru-guru tenaga pendidik yang kurang dan tidak memadai. Hasil sebuah riset menyebutkan, bahwa pada 2014 dari sekitar 1,3 juta dari total 1,6 juta guru di Indonesia yang mengikuti ujian kompetensi, memiliki nilai hasil ujian dibawah 60 dari rentang 0 hingga 100. Saya kira, hal ini semestinya menjadi perhatian serius untuk kita semua, terutama political will dari pemerintah yang konon telah menganggarkan 20 persen dari total APBD dan APBN yang disepakati.

Tokoh pejuang kemanusiaan, Nelson Mandela pernah berujar bahwa “pendidikan merupakan senjata paling ampuh (powerful weapon) yang dapat digunakan untuk mengubah dunia”. Paling tidak, ungkapan Mandela ini memberikan kesan kepada kita bahwa dengan alasan apapun, pendidikan merupakan media paling penting yang dapat dipergunakan untuk mengubah suatu bangsa, bahkan pada tahap tertentu mampu mengubah dunia. 

Perkembangan kemajuan peradaban dunia yang ditandai oleh kemudahan mengakses beragam informasi melalui kecanggihan teknologi merupakan salah satu ekses dari tingkat pendidikan sehingga sekat-sekat yang sempat terjadi antar benua di dunia, kini tak diperlukan lagi (borderless). 

Dunia saat ini sudah mengglobal, tanpa batas, tanpa sekat bahkan tak perlu dibatasi oleh ruang dan waktu. Kapan pun, dimana pun, setiap orang akan mudah mengakses informasi apapun yang dibutuhkan tanpa kesulitan yang berarti. 

Dengan demikian, bangsa mana pun yang paling menguasai akses terhadap seluruh informasi, dialah bangsa yang mampu mengubah dunia. Lagi-lagi, bangsa yang seperti ini adalah bangsa yang besar karena berhasil mengangkat bangsanya melalui penyadaran pendidikan yang lebih berorientasi kepada peningkatan kekuatan sumberdaya manusia secara universal, tidak monoton berada di jalur formal. 

Pendidikan universal tidak dibentuk oleh serangkaian kegiatan formalitas di dalam kelas, tetapi seringkali lahir dari hasil “didikan” pembacaan terhadap alam, pengalaman, riset yang berkesinambungan dan tentu saja karena etos pendidikannya tidak berorientasi jangka pendek, seperti berkeinginan menempati pos-pos dalam sektor swasta atau pemerintahan, tetapi lebih berorientasi universal.

Kita seringkali terjebak dalam realitas formal tentang dunia pendidikan, sehingga sulit diyakinkan bahwa pendidikan itu semestinya dapat dipahami secara universal. Jika tidak sekolah formal, maka dia akan dianggap bodoh dan terbelakang, padahal pendidikan tidak harus dijalankan melalui jalur formal seperti sekolah. 

Di Indonesia, ada sebuah model pendidikan yang dianggap tertua di Indonesia dan memiliki karakter tersendiri, yaitu pesantren. Model pendidikan pesantren merupakan produk subkultur yang sanggup menyaingi pendidikan-pendidikan model Barat, setidaknya pada sekitar tahun 1930-an. 

Pesantren dianggap sebagai bentuk indigenous atau produk asli pendidikan Indonesia.  Sampai saat ini, ratusan ribu pesantren telah berdiri di Indonesia dan pesantren berhasil melakukan transformasi pendidikannya sehingga lebih mampu beradaptasi dan bersaing dengan pendidikan-pendidikan formal lainnya, meskipun pijakannya tetap melestarikan nilai-nilai tradisi model pembelajaran keindonesiaan yang otentik. 

Pesantren dapat menjadi alternatif pendidikan disaat solusi kemacetan pendidikan formal belum dapat terurai. Cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra pernah melaporkan hasil penelitiannya bahwa akibat adanya kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada 1950-an pendidikan pesantren menjadi alternatif terbaik bagi masyarakat muslim yang jauh dari pusat perkotaan dikarenakan biaya yang relatif paling murah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun