Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membangun Kualitas Pendidikan yang Berorientasi Universal

22 Mei 2016   14:28 Diperbarui: 23 Mei 2016   10:32 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kualitas pendidikan adalah modal penting memajukan bangsa. Liputan6.com

Pendidikan apapun itu bentuknya, merupakan jalan menuju suatu keberadaban dan kewarasan berpikir manusia. Melalui pendidikan, sebuah bangsa akan tampak lebih beradab, lebih maju, berbudaya dan menjadi bangsa yang kuat serta disegani dan tak mungkin dilecehkan oleh bangsa mana pun. 

Dulu, bangsa Indonesia menjadi incaran penjajahan oleh bangsa lain karena ketiadaan pendidikan yang memadai bagi rakyatnya. Rakyat Indonesia masih bodoh waktu itu, ditambah kemudian para penjajah yang datang justru semakin membodohi rakyat bukan mendidik atau memberikan fasilitas pendidikan yang memadai bagi rakyatnya. 

Dengan demikian, terdapat suatu kausalitas abadi, bahwa pendidikan yang baik akan melahirkan bangsa yang baik demikian juga sebaliknya, pendidikan yang buruk akan berdampak pada kemunduran, keterbelakangan bahkan kehancuran suatu kondisi bangsa.

Memahami pendidikan, tidak harus dipandang sebagai sebuah kegiatan formal di sekolah saja  tetapi harus dipahami lebih luas lagi, pendidikan harus mampu memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk yang sangat penting adalah menyemai pendidikan yang ada di lingkungan terkecil, yaitu keluarga. 

Keluarga merupakan embrio utama dalam proses peningkatan kualitas insan terdidik dimana jika pendidikan yang dilakukan dalam keluarga memadai dengan baik, niscaya akan melahirkan pribadi-pribadi terdidik yang cerdas, berkarakter, memiliki tanggung jawab sehingga pada saatnya akan membentuk generasi-generasi bangsa yang baik, kuat dan berwawasan luas. 

Pada akhirnya, lingkungan keluarga yang peduli terhadap pendidikan akan mampu menyerap dan mengkristalisasikan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kebangsaan pada setiap generasinya. Hal ini yang seringkali diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan dalam keluarga dapat membentuk karakter manusia yang berbudi luhur selaras dengan kehidupan dan nilai-nilai kebangsaan.

Melalui pandangan dan pemahaman yang luas tentang pendidikan, maka makna pendidikan tidak terdistorsi hanya kepada proses pembelajaran di kelas dengan seperangkat kurikulum yang ditentukan, pilihan waktu yang ditetapkan, prosesi yang berjenjang, sehingga pendidikan seakan berada pada ruang gerak yang sempit, formal, ekslusif serta dibatasi oleh seperangkat aturan baku yang telah mengikat. 

Tidak semua lapisan masyarakat ternyata dapat mengakses pendidikan secara formal, sehingga dibutuhkan model pendidikan semesta melampaui sekat-sekat formalitas yang ada. Jika pendidikan bertujuan untuk peningkatan kualitas sumber daya insani, maka makna pendidikan harus diderivasi dari yang sekedar formalitas dan sektoral  menjadi pendidikan yang bernuansa universal dan global. 

Namun masalahnya, orientasi publik saat ini cenderung memaknai pendidikan secara formalistik dan pragmatik. Insan-insan yang terdidik secara formal dalam masyarakat diharapkan setelah lulus misalnya, dapat mengisi pos-pos pekerjaan dalam sektor-sektor riil, seperti di swasta atau pemerintahan, mindset publik tidak diarahkan dalam rangka mengembangkan potensi kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan yang universal. 

Tugas keluarga-lah sebagai unit masyarakat terkecil dalam sebuah entitas bangsa dan negara yang seharusnya dapat mengaktualisasikan konsep pendidikan universal disaat pendidikan model formal kadang mengalami kemacetan.

Saat ini, memang tidak semua masyarakat di Indonesia mampu mengakses pendidikan formal seperti model pendidikan yang baku seperti yang terwujud dalam bentuk sekolah. Bahkan sampai saat ini, sekolah-pun nampaknya belum tersebar secara merata di seluruh pelosok wilayah Indonesia. 

Sebagai informasi data saja, bahwa Kemendikbud mencatat pada 2015 dari 6.982 kecamatan di Indonesia, sebanyak 635 kecamatan masih belum memiliki SMA sederajat. Tak hanya sekolah-sekolah yang kurang, ruang-ruang kelas di sekolah yang ada saja banyak yang dilaporkan rusak. Pihak Kemendikbud menyatakan bahwa ruang kelas yang rusak berjumlah 149.552 dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari tingkat SD sampai SMP. 

Kondisi ini belum diperparah oleh kondisi guru-guru tenaga pendidik yang kurang dan tidak memadai. Hasil sebuah riset menyebutkan, bahwa pada 2014 dari sekitar 1,3 juta dari total 1,6 juta guru di Indonesia yang mengikuti ujian kompetensi, memiliki nilai hasil ujian dibawah 60 dari rentang 0 hingga 100. Saya kira, hal ini semestinya menjadi perhatian serius untuk kita semua, terutama political will dari pemerintah yang konon telah menganggarkan 20 persen dari total APBD dan APBN yang disepakati.

Tokoh pejuang kemanusiaan, Nelson Mandela pernah berujar bahwa “pendidikan merupakan senjata paling ampuh (powerful weapon) yang dapat digunakan untuk mengubah dunia”. Paling tidak, ungkapan Mandela ini memberikan kesan kepada kita bahwa dengan alasan apapun, pendidikan merupakan media paling penting yang dapat dipergunakan untuk mengubah suatu bangsa, bahkan pada tahap tertentu mampu mengubah dunia. 

Perkembangan kemajuan peradaban dunia yang ditandai oleh kemudahan mengakses beragam informasi melalui kecanggihan teknologi merupakan salah satu ekses dari tingkat pendidikan sehingga sekat-sekat yang sempat terjadi antar benua di dunia, kini tak diperlukan lagi (borderless). 

Dunia saat ini sudah mengglobal, tanpa batas, tanpa sekat bahkan tak perlu dibatasi oleh ruang dan waktu. Kapan pun, dimana pun, setiap orang akan mudah mengakses informasi apapun yang dibutuhkan tanpa kesulitan yang berarti. 

Dengan demikian, bangsa mana pun yang paling menguasai akses terhadap seluruh informasi, dialah bangsa yang mampu mengubah dunia. Lagi-lagi, bangsa yang seperti ini adalah bangsa yang besar karena berhasil mengangkat bangsanya melalui penyadaran pendidikan yang lebih berorientasi kepada peningkatan kekuatan sumberdaya manusia secara universal, tidak monoton berada di jalur formal. 

Pendidikan universal tidak dibentuk oleh serangkaian kegiatan formalitas di dalam kelas, tetapi seringkali lahir dari hasil “didikan” pembacaan terhadap alam, pengalaman, riset yang berkesinambungan dan tentu saja karena etos pendidikannya tidak berorientasi jangka pendek, seperti berkeinginan menempati pos-pos dalam sektor swasta atau pemerintahan, tetapi lebih berorientasi universal.

Kita seringkali terjebak dalam realitas formal tentang dunia pendidikan, sehingga sulit diyakinkan bahwa pendidikan itu semestinya dapat dipahami secara universal. Jika tidak sekolah formal, maka dia akan dianggap bodoh dan terbelakang, padahal pendidikan tidak harus dijalankan melalui jalur formal seperti sekolah. 

Di Indonesia, ada sebuah model pendidikan yang dianggap tertua di Indonesia dan memiliki karakter tersendiri, yaitu pesantren. Model pendidikan pesantren merupakan produk subkultur yang sanggup menyaingi pendidikan-pendidikan model Barat, setidaknya pada sekitar tahun 1930-an. 

Pesantren dianggap sebagai bentuk indigenous atau produk asli pendidikan Indonesia.  Sampai saat ini, ratusan ribu pesantren telah berdiri di Indonesia dan pesantren berhasil melakukan transformasi pendidikannya sehingga lebih mampu beradaptasi dan bersaing dengan pendidikan-pendidikan formal lainnya, meskipun pijakannya tetap melestarikan nilai-nilai tradisi model pembelajaran keindonesiaan yang otentik. 

Pesantren dapat menjadi alternatif pendidikan disaat solusi kemacetan pendidikan formal belum dapat terurai. Cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra pernah melaporkan hasil penelitiannya bahwa akibat adanya kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada 1950-an pendidikan pesantren menjadi alternatif terbaik bagi masyarakat muslim yang jauh dari pusat perkotaan dikarenakan biaya yang relatif paling murah. 

Memang, saat ini banyak sekali bermunculan beragam alternatif pendidikan non-formal, seperti sekolah anak jalanan, sanggar pendidikan gratis atau perkumpulan-perkumpulan pendidikan yang sifatnya insidental.

Maka seyogyanya, pemerintah terus menerus meyakinkan masyarakat dimanapun berada bahwa pendidikan merupakan unsur paling penting dalam perdaban suatu bangsa. Maju mundurnya bangsa terletak pada kualitas pendidikan yang diterima oleh masyarakatnya. 

Negara sepatutnya bertanggungjawab penuh atas upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang dilakukan melalui ketersediaan pendidikan bagi masyarakat. Jika masyarakat kesulitan mengakses pendidikan formal karena terbentur soal pembiayaan, pemerintah dapat memberikan support kepada model pendidikan-pendidikan non-formal seperti pesantren atau madrasah-madrasah. 

Pendidikan itu bersifat universal, tidak harus didapat dari proses bersekolah secara formal, tetapi bisa diperoleh dari mana saja. Pendidikan bahkan dapat diperoleh dari alam raya, lingkungan sekitar, atau masyarakat. Selama menyadari bahwa pendidikan merupakan proses peningkatan kualitas kemanusiaan ke arah lebih baik, lebih bernilai dan lebih produktif, maka bersiaplah suatu saat kesadaran masyarakat terhadap pendidikan akan menjadikan mereka bangsa yang besar. 

Pemerintah dan masyarakat semestinya terus saling mendukung untuk memberikan pemahaman yang baik akan pentingnya pendidikan, baik formal maupun non-formal, jika bangsa ini mau disebut bangsa yang hebat.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun