Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

NU, antara Idealisme dan Pragmatisme

18 Mei 2016   15:47 Diperbarui: 18 Mei 2016   19:07 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membaca lebih dekat tentang ormas Islam terbesar di Nusantara ini tidak semenarik dulu. Hal ini dikarenakan terdapat banyak sisi otentisitas idealisme keagamaan yang dahulu sangat kuat dibudayakan oleh para kyai-kyai yang menjadi panutan NU semakin lama semakin memudar, bahkan otentisitas ke-NU-an yang berkhidmat kepada masyarakat, berkhidmat kepada pesantren, berkhidmat kepada kyai sudah lama terkikis digantikan oleh seperangkat ekses modernisme dan kapitalisme yang kemudian melahirkan sikap yang pragmatis dalam banyak hal. 

Ke-NU-an dan ke-Indonesiaan yang dahulu begitu lekat dalam organisasi yang berbasis pesantren ini terlihat memecahkan diri, bahkan para pemimpinnya yang pragmatis menunjukkan sikap terpecah (split personality) antara keberpihakan kepada seperangkat nilai kepesantrenan dan Ke-NU-an dan keberpihakan kepada budaya urban yang cenderung ikut dalam mainstream gaya hidup yang hedonis, elitis dan egois. Kondisi kepribadian ganda seperti ini ditemukan dibanyak pemimpin-pemimpin NU yang umumnya berada di pusat perkotaan dan berdekatan dengan kekuasaan.

Perkembangan modernisasi dan globalisasi yang merambah sebagian besar masyarakat di dunia, belum mampu disikapi secara arif oleh kalangan NU. Alih-alih menjadi katalisator dalam memaknai perubahan masyarakat global, para pemimpin NU malah terjerembabmengikuti arus mainstreamtanpa filter bahkan telah kehilangan identitas ke-NU-annya berganti dengan sikap elitis-hedonis yang kebablasan. Identitas ke-NU-an yang saya maksud adalah kultur NU yang memaknai konsep Islam Rahmatan lil alamin dengan mengedepankan sikap moderat (tasamuh), cenderung menjauhi sikap pertentangan (mafsadah) dan menghormati (ta’dzim) kepada para ulama. 

Kultur NU yang seperti ini kemudian melembaga dalam konsep ahlusunnah waljama’ah sehingga kemudian dalam sejarahnya, NU senantiasa menunjukkan sikap luwes dalam banyak hal, tetapi tetap memiliki prinsip berkhidmat baik kepada masyarakat ataupun ulama. Keluwesan sikap NU kemudian mampu menggerakkan pemikiran anak-anak muda NU lebih terbuka, inklusif, filosofis bahkan liberal tetapi tidak kehilangan inti keberpijakannya pada kultur NU yang sesungguhnya.

Sungguh yang kita saksikan saat ini, NU tidak lagi berada pada garis khittah yang sempat menjadi basis pijakan NU dalam memaknai sikap berbangsa dan bernegara. Pesan “Khittah 1926” sebenarnya adalah NU kembali berkhidmat kepada umat, menjaga umat, bahkan NU berada pada posisi sebagai ormas yang membela kaum lemah, toleran melampaui demarkasi agama yang ada di Indonesia. 

Dalam konteks kekinian, NU seringkali berada pada wilayah “abu-abu” bahkan wilayah itu kini semakin absurd dan hilang, yang ada hanyalah sikap pragmatisme yang ditunjukkan oleh para pemimpinnya sehingga mempunyai dampak yang luar biasa terhadap kultur NU sendiri. Potret seperti ini sudah disuguhkan NU ketika berlangsung pada Muktamar NU 33 di Makassar, disitu terlihat bagaimana proses pragmatisme berlangsung. 

Pemilihan ketua tanfidziyah NU diselingi oleh perdebatan bahkan isak tangis para kyai sepuh yang sedih melihat pemilihan pemimpin layaknya “barang dagangan”. Padahal dulu, banyak kyai-kyai yang justru menolak menjadi pemimpin karena merasa tidak pantas dan takut akan memikul tanggungjawab yang besar.

Sikap yang tidak bijak seringkali tercermin dari ketua tanfidziyah terpilih, KH Said Aqil Siradj atau yang akrab disapa Kang Said, dimana lontaran-lontaran pendapatnya kepada publik tidak mencerminkan NU yang tasammuh apalagi tawassuth. Beberapa kali lontaran Kang Said membuat berang kalangan kyai NU, terutama beberapa lontaran pendapatnya mengenai isu Syiah dan isu pemimpin non-muslim. Said misalnya menyatakan peringatan Assyurayang dilakukan kelompok Syiah tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam, atau pendapatnya yang cukup banyak disoroti publik adalah mengenai “lebih baik memilih pemimpin non-muslim yang jujur dan baik daripada memilih pemimpin muslim yang dzalim”. 

Bahkan pendapat yang sedikit menggelikan mengenai masalah jenggot, yaitu “semakin panjang jenggot seseorang semakin dia bodoh”. Saya kira sikap dan pendapat seperti ini meskipun mengandung kebenaran, tetapi tidak mencerminkan NU yang secara kultural mengusung konsep moderat (tasamuh) terhadap adat atau budaya lainnya di Indonesia. Sikap luwes NU sejak dahulu selalu ditunjukkan oleh para pemimpinnya, dengan mengedepankan sikap toleransi yang tinggi, tidak hanya terhapat agama lain, tetapi bertoleransi terhadap sesama muslim yang berbeda pendapat.

Sikap dan pendapat Kang Said yang terlanjur beredar di ruang publik mengenai berbagai hal, dinilai kurang bijak oleh banyak kalangan, terutama kalangan NU sendiri. Meskipun itu merupakan pendapat pribadi, tetapi Kang Said lupa bahwa dia merupakan pemimpin ormas Islam terbesar di Indonesia, sehingga dia lekat dengan simbol-simbol ke-NU-an yang dibawanya. 

Hal inilah yang kemudian, ketokohan dan keulamaan Kang Said dipertanyakan oleh banyak warga NU, terutama para kyai-kyai sepuh yang tetap konsisten di jalur Khittah NU. Halaqah Lintas Wilayah Nahdlatul Ulama yang digagas para kyai NU di Batang, Jawa Tengah telah memberikan ultimatum kepada Kang Said agar mengundurkan diri sebagai ketua umum PBNU. Halaqah yang digelar di Ponpes Al-Hidayah ini dihadiri oleh beberapa kyai NU, diantaranya, KH. DR Abu Hafsin, Dr. KH. Adnan, KH. Aziz Mashuri (Jombang), utusan Ponpes Sidogiri, utusan Ponpes Sal Syaf Sukorejo Situbondo, utusan Ponpes Buntet Cirebon, utusan Ponpes Cipasung, beberapa ulama dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Halaqah NU ini dilaksanakan pada 16 Mei lalu dan menghasilkan lima butir kesepakatan yang diantaranya menuntut KH Aqil Siradj untuk mundur dari jabatannya. Tuntutan mundur seorang ketua dari jabatan tanfidziyah dalam sejarah NU dulu pernah dilakukan oleh KH Bisri Syamsuri yang memberhentikan ketuanya, Subchan ZE dengan alasan moral. Meskipun pemberhentian akhirnya dibatalkan karena Subchan menemui kyai-kyai NU untuk meminta maaf dan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.

NU dibawah pimpinan Kang Said memang sarat dengan sikap pragmatisme dimana sikap ini justru muncul dari kalangan elite NU sendiri yang dinahkodai oleh Kang Said. Sikap Kang Said dalam memaknai pluralisme juga dianggap kebablasan oleh banyak kalangan kyai NU, seperti mengajak keliling ke pesantren-pesantren NU kepada salah satu pimpinan parpol yang diketahui adalah non-muslim. 

Jika Kang Said hendak menunjukkan sikap pluralisme, mestinya harus dimaknai sebagai bentuk penerimaan dan kerjasama yang baik dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kemanusiaan, bukan dalam masalah agama. Sikap pluralisme dibangun atas kenyataan bahwa kita berbangsa dan bernegara dalam ragam kepercayaan yang satu sama lain saling mendukung dalam program kerjasama kemanusiaan lintas agama. 

Sikap kepolitikan NU yang diusung dalam Khittah-nya tercermin dalam tiga bentuk persaudaraan, yaitua ukhuwah basyariyah (persaudaraan antar umat manusia), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa) dan ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim). Yang dilakukan Kang Said dengan mengajak salah satu pimpinan parpol yang non-muslim apalagi dengan diberi atribut-atribut ke-Islaman sungguh telah keluar dari makna ukhuwah wathoniyah yang digagas dalam persepsi Khittah NU. Kang Said nampaknya mempunyai pemikiran yang hendak mencontoh pendahulunya, Gus Dur, namun berada pada waktu dan tempat yang sama sekali tidak tepat.

Keinginan para kyai NU untuk melengserkan Kang Said pada perhelatan halaqah ulama di Batang, Jawa Tengah, sangat masuk akal, karena apa yang ditunjukkan Kang Said seakan membawa NU lebih jauh kepada sikap pragmatisme yang sempit dan justru semakin  memandulkan idealisme NU yang mengusung konsep Khittah dengan sikap moderat (tawassuth) dan keseimbangan (tawazun). 

Sebagai ormas Islam yang senantiasa berkhidmat kepada umat dan ulama, NU seharusnya berada dalam upaya mengayomi, memberikan solusi, merangkul dan memberikan pencerahan kepada umat, bukan membuat resah atau melahirkan konflik dalam umat. NU melalui khittah, lebih mengedepankan sikap moral yang menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Islaman yang rahmatan lil alamin.

Wallahu a’lam bisshawab     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun