Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

NU, antara Idealisme dan Pragmatisme

18 Mei 2016   15:47 Diperbarui: 18 Mei 2016   19:07 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Halaqah NU ini dilaksanakan pada 16 Mei lalu dan menghasilkan lima butir kesepakatan yang diantaranya menuntut KH Aqil Siradj untuk mundur dari jabatannya. Tuntutan mundur seorang ketua dari jabatan tanfidziyah dalam sejarah NU dulu pernah dilakukan oleh KH Bisri Syamsuri yang memberhentikan ketuanya, Subchan ZE dengan alasan moral. Meskipun pemberhentian akhirnya dibatalkan karena Subchan menemui kyai-kyai NU untuk meminta maaf dan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.

NU dibawah pimpinan Kang Said memang sarat dengan sikap pragmatisme dimana sikap ini justru muncul dari kalangan elite NU sendiri yang dinahkodai oleh Kang Said. Sikap Kang Said dalam memaknai pluralisme juga dianggap kebablasan oleh banyak kalangan kyai NU, seperti mengajak keliling ke pesantren-pesantren NU kepada salah satu pimpinan parpol yang diketahui adalah non-muslim. 

Jika Kang Said hendak menunjukkan sikap pluralisme, mestinya harus dimaknai sebagai bentuk penerimaan dan kerjasama yang baik dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kemanusiaan, bukan dalam masalah agama. Sikap pluralisme dibangun atas kenyataan bahwa kita berbangsa dan bernegara dalam ragam kepercayaan yang satu sama lain saling mendukung dalam program kerjasama kemanusiaan lintas agama. 

Sikap kepolitikan NU yang diusung dalam Khittah-nya tercermin dalam tiga bentuk persaudaraan, yaitua ukhuwah basyariyah (persaudaraan antar umat manusia), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa) dan ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim). Yang dilakukan Kang Said dengan mengajak salah satu pimpinan parpol yang non-muslim apalagi dengan diberi atribut-atribut ke-Islaman sungguh telah keluar dari makna ukhuwah wathoniyah yang digagas dalam persepsi Khittah NU. Kang Said nampaknya mempunyai pemikiran yang hendak mencontoh pendahulunya, Gus Dur, namun berada pada waktu dan tempat yang sama sekali tidak tepat.

Keinginan para kyai NU untuk melengserkan Kang Said pada perhelatan halaqah ulama di Batang, Jawa Tengah, sangat masuk akal, karena apa yang ditunjukkan Kang Said seakan membawa NU lebih jauh kepada sikap pragmatisme yang sempit dan justru semakin  memandulkan idealisme NU yang mengusung konsep Khittah dengan sikap moderat (tawassuth) dan keseimbangan (tawazun). 

Sebagai ormas Islam yang senantiasa berkhidmat kepada umat dan ulama, NU seharusnya berada dalam upaya mengayomi, memberikan solusi, merangkul dan memberikan pencerahan kepada umat, bukan membuat resah atau melahirkan konflik dalam umat. NU melalui khittah, lebih mengedepankan sikap moral yang menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Islaman yang rahmatan lil alamin.

Wallahu a’lam bisshawab     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun