Mohon tunggu...
Syahira Hir
Syahira Hir Mohon Tunggu... Lainnya - Squidward

Akun mati

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Faktor Ekonomi Makro dan Kinerja Keuangan terhadap Nilai Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia

25 Desember 2021   19:22 Diperbarui: 25 Desember 2021   20:22 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS


Disusun oleh :
Syahira ( 502200055 )
Kelas : 3B perbankan syariah

Uin sultan thaha saifuddin jambi
Fakultas ekonomi dan bisnis islam
Angkatan 2021/2022

ABSTRAK
Tujuan utama dari manajemen keuangan adalah memaksimalkan nilai perusahaan yang dapat diwujudkan apabila perusahaan memiliki kinerja keuangan yang baik. 

Faktor ekonomi makro adalah faktor ekstern yang dapat mempengaruhi kinerja keuangan dan nilai perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi pengaruh faktor ekonomi makro dan kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan sektor manufaktur di Bursa Efek Indonesia. 

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan sektor manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia selama periode 2009-2011. 

Pengujian hipotesis penelitian menggunakan teknik analisis jalur dengan alat bantu SPSS 16.0. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) faktor ekonomi makro berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kinerja keuangan sektor manufaktur, (2) faktor ekonomi makro berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap nilai perusahaan sektor manufaktur, serta (3) kinerja keuangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan sektor manufaktur. 


Disarankan kepada investor yang ingin berinvestasi pada perusahaan di sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk memperhatikan variabel kinerja keuangan.

PENDAHULUAN
Tujuan perusahaan dalam perspektif manajemen keuangan pada dasarnya adalah memaksimumkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan dapat dilihat dari harga pasar saham perusahaan (Pujiawti dan Widanar, 2009). 

Nilai perusahaan dapat diukur dengan Price Earning Ratio (PER) yang menggambarkan bagaimana keuntungan perusahaan atau emiten saham  terhadap harga sahamnya, yang menunjukkan besarnya rupiah yang harus dibayarkan investor untuk memperoleh satu rupiah earning perusahaan. PER adalah hasil bagi antara harga saham dan laba bersih per saham (EPS). Semakin tinggi pertumbuhan laba, maka nilai PER akan semakin tinggi.  

Faktor internal dalam mempengaruhi kemampuan perusahaan yang go-public dalam mencapai tujuan jangka panjangnya untuk meningkatkan nilai perusahaan dapat dilihat dari kinerja keuangannya. 

Kinerja keuangan perusahaan merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh para investor dalam berinvestasi. 

Salah satu rasio keuangan yang dapat digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja keuangan perusahaan adalah rasio profitabilitas. 

Bagi investor, kinerja perusahaan akan dilihat dari segi profitabilitas karena kestabilan harga saham sangat tergantung pada tingkat keuntungan yang diperoleh dan dividen dimasa depan (Sartono, 2009).  

Profitabilitas memfokuskan perusahaan untuk menghasilkan laba yang dapat diukur dengan Return on Equity (ROE). ROE menggambarkan sejauh mana kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang dapat diperoleh pemegang saham. Rasio ini dapat dihitung dengan membagi laba bersih dengan jumlah ekuitas perusahaan (Tandelilin, 2010). 

ROE dapat mempengaruhi earning per share (EPS) perusahaan, karena EPS merupakan hasil bagi antara laba bersih dengan jumlah saham beredar. 

Harga saham merupakan refleksi pasar terhadap laba perusahaan (Jones, 2009). Perusahaan yang dapat meningkatkan EPS secara konsisten akan melihat korelasi positif yang kuat antara perubahan laba per saham dengan harga saham (O’Hara et al. 2000). Sudiyatno (2010) menyebutkan bahwa kinerja perusahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.  

Tidak hanya faktor internal, kondisi ekonomi makro sebagai faktor eksternal juga dapat mempengaruhi kinerja dan nilai perusahaan. Fama (1981) menyebutkan bahwa pergerakan faktor ekonomi makro dapat digunakan untuk memprediksi pergerakan harga saham, tetapi setiap peneliti menggunakan faktor ekonomi makro yang berbeda-beda karena belum ada konsensus faktor ekonomi makro mana yang berpengaruh terhadap harga saham (Wulandari, 2010). 

Banyak peneliti percaya bahwa beberapa variabel ekonomi makro, seperti suku bunga tinggi (Charitou et al. 2004), laju inflasi yang tinggi (Pareira, 2010) dan fluktuasi nilai tukar yang tinggi (Rachmawati, 2012) menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan keuangan yang dapat menurunkan kinerja keuangannya, sehingga berdampak pada turunnya nilai perusahaan.

Inflasi merupakan proses dari kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus menerus (Nopirin, 2012). Laju inflasi yang tinggi akan mendorong kenaikan harga bahan baku dan meningkatkan berbagai biaya operasi perusahaan, menyebabkan harga jual barang meningkat dan menurunkan daya beli masyarakat. Hal ini berdampak pada turunnya penjualan perusahaan, sehingga keuntungan dan  kinerja keuangan perusahaan mengalami penurunan.  

Nilai tukar adalah harga dari mata uang domestik dalam mata uang asing. Nilai tukar merupakan sejumlah uang dari suatu mata uang tertentu yang dapat dipertukarkan dengan satuan unit mata uang negara lain. Nilai tukar rupiah memiliki pengaruh utama terhadap perusahaan yang mengandalkan bahan baku impor. 

Depresiasi rupiah akan menyebabkan kenaikan biaya produksi, sehingga berdampak pada penurunan profitabilitas perusahaan (Darminto, 2008).  

Suku bunga merupakan harga dari pinjaman (Sunariyah, 2010). Tingkat suku bunga yang tinggi tentu sangat memberatkan operasi perusahaan yang ingin melakukan investasi baru, terutama bagi perusahaan yang memiliki rasio pinjaman yang tinggi, karena terancam tidak mampu melunasi hutang-hutangnya, sehingga berdampak pada jatuhnya kinerja keuangan perusahaan.  

Tabel 1 Indikator Faktor Ekonomi Makro Indonesia, Rata-Rata Pertumbuhan
Return on Equity (ROE), dan Price Earning Ratio (PER) Industri
Manufaktur di BEI Periode 2009-2011
 
Tahun Laju
Inflasi
 (%) Tingkat
Suku
Bunga SBI
(%) Nilai
Tukar Rp
Terhadap
USD (Rp) Return on
Equity
(ROE)  
(%) Price
Earning
Ratio (PER)
(%)
2009 2,78 6,50 10.356 11,82 16,47
2010 6,96 6,50 9.078 2,43 1,48
2011 3,79 6,00 8.773 0,01 1,49
Sumber : Data Diolah  

Berdasarkan Tabel 1, menguatnya ketiga indikator ekonomi makro pada tahun 2011 tidak serta merta ikut meningkatkan kinerja keuangan dan nilai perusahaan pada sektor manufaktur. 

Hal ini merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji lebih jauh.   Suardani (2009), dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat inflasi dengan kinerja keuangan, suku bunga SBI memiliki pengaruh yang negatif tidak signifikan terhadap kinerja keuangan, kurs Dolar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja keuangan. 

Demir (2007), menyebutkan bahwa ketidakpastian ekonomi makro yang diukur dengan nilai tukar dan inflasi memiliki pengaruh negatif secara signifikan terhadap profitabilitas perusahaan manufaktur. 

Gallardo et al. (2001), meneliti profitabilitas perusahaan manufaktur di Mexico, menyebutkan bahwa suku bunga berpengaruh positif terhadap profitabilitas.  

Tidak stabilnya kondisi ekonomi makro akan berdampak buruk pada kinerja keuangan perusahaan secara umum. Rendahnya kinerja keuangan yang tercermin dalam laporan keuangan membuat para investor mengurangi jumlah permintaan atas saham perusahaan tersebut. 

Menurunnya jumlah permintaan saham akan mengakibatkan harga saham ikut turun dan hal ini menunjukkan nilai perusahaan yang rendah. 

Pareira (2010) membuktikan bahwa terdapat hubungan negatif antara inflasi dengan harga saham. Triayuningsih (2003) menyebutkan bahwa laju inflasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap return saham yang berdampak pada harga saham perusahaan manufaktur. 

Kurihara (2006) meneliti hubungan antara variabel makroekonomi dan harga saham di Jepang, menemukan bahwa tingkat suku bunga domestik tidak mempengaruhi perubahan harga saham di Jepang secara signifikan, melainkan nilai tukar yang ternyata berpengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham di Jepang. 

Berbeda dengan penelitian Gupta et al. (2000), yang menemukan bukti bahwa tidak terdapat hubungan yang kuat antara harga saham dengan nilai tukar. Harga saham justru lebih terpengaruh oleh tren dari tingkat suku bunga selama periode tersebut, di mana suku bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap harga saham. Berdasarkan uraian fenomena dan research gap tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1)Apakah faktor ekonomi makro berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia ?
2)Apakah kinerja keuangan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia?
3)Apakah faktor ekonomi makro berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia ?

METODE PENELITIAN  
Definisi Variabel  
Variabel-variabel yang dianalisis didefinisikan secara operasional, sebagai berikut :
1)Nilai Perusahaan (Y) merupakan persepsi investor terhadap perusahaan, yang sering dikaitkan dengan harga saham. Dalam penelitian ini, nilai perusahaan diproksikan dengan Price Earning Ratio (PER) yang dinyatakan dalam
satuan persentase.  
 PER = Harga pasar per lembar saham   x 100 %  
 
 Pendapatan per lembar saham         .............................. (1)
2)Kinerja Keuangan (X2) merupakan penilaian kondisi keuangan perusahaan yang dilakukan berdasarkan analisis terhadap rasio keuangan.

3)Faktor Ekonomi Makro (X1) merupakan variabel yang tidak dapat diukur secara langsung, sehingga digunakan laju inflasi, nilai tukar dan tingkat suku bunga sebagai cerminan dari faktor ekonomi makro. Data laju inflasi, nilai tukar dan tingkat suku bunga didapat melalui situs resmi Bank Indonesia.

Populasi dan Sampel  
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan sektor manufaktur di Bursa
Efek Indonesia (BEI) periode 2009-2011, sebanyak 132 perusahaan.  
Tabel 2 Kriteria Pengambilan Sampel
 
No Keterangan Jumlah Perusahaan
1 Perusahaan manufaktur yang terdapat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode tahun 2009-2011. 132
2 Perusahaan manufaktur yang terdapat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode tahun 2009-2011 yang tidak menerbitkan laporan keuangan selama tiga tahun berturut-turut pada periode penelitian. (9)
3 Perusahaan manufaktur yang terdapat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode tahun 2009-2011 yang mengalami kerugian selama periode penelitian. (20)
4 Perusahaan manufaktur yang terdapat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode tahun 2009-2011 yang mengalami kerugian dan memiliki total modal sendiri bernilai negatif selama periode penelitian. (19)
5 Jumlah sampel penelitian  84
 
Metode Analisis Data  

Penelitian ini menggunakan teknik factor analysis dan path analysis dengan alat bantu analisis statistik program SPSS 16.0. Analisis faktor merupakan metode yang digunakan untuk mereduksi data, yaitu proses yang meringkas sejumlah variabel menjadi lebih sedikit yang dinamai dengan faktor. 

Tujuan digunakan analisis faktor adalah untuk menghasilkan ukuran (berupa skor) dari beberapa variabel terukur, mengkonfirmasi struktur faktor yang dianalisis berdasarkan konsep atau teori (Jogiyanto, 2011). 

Analisis faktor dilakukan karena belum ada konsensus faktor ekonomi makro mana yang berpengaruh terhadap harga saham (Wulandari, 2010). 

Alasan lain adalah karena adanya korelasi yang sangat kuat antar variabel ekonomi makro sehingga menimbulkan multikolinearitas. Analisis statistik diperlukan untuk menentukan variabel mana yang dominan untuk mewakili faktor ekonomi makro (X1) sebagai variabel laten.  

Pengujian hipotesis satu sampai tiga dilakukan dengan menggunakan analisis jalur. Pemilihan model ini didasarkan atas pertimbangan bahwa bentuk hubungan sebab akibat yang ada dalam penelitian ini merupakan model yang kompleks, yakni terdapat variabel yang memiliki peran ganda sebagai variabel independen pada suatu hubungan dan juga menjadi variabel dependen pada hubungan lain.  
 
Gambar 1
Diagram Jalur Pengaruh Faktor Ekonomi Makro dan Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan  HASIL DAN PEMBAHASAN  

Analisis Faktor  

Tujuan analisis faktor pada penelitian ini adalah untuk melakukan konfirmasi atas teori atau konsep dan untuk memperoleh skor faktor. 

Skor faktor dalam penelitian ini adalah angka yang mewakili variabel laten faktor ekonomi makro berdasarkan indikatornya, yakni laju inflasi, tingkat suku bunga dan nilai tukar rupiah terhadap dolar US. 

Analisis kelayakan data laju inflasi, tingkat suku bunga dan nilai tukar rupiah terhadap dolar US dalam bentuk variabel laten ekonomi makro dilakukan dengan memperhatikan Measure of Sampling Adequacy (MSA) menurut Keyser-Meyer-Olkin (KMO), Barlett’s test of sphericity, serta memeriksa total varians yang dijelaskan (total variance explained) dan eigenvalue serta menghitung skor faktornya. 

Berdasarkan kriteria tersebut, nilai tukar dikeluarkan karena varians kumulatifnya berada di bawah 60%.  
Tabel 3 Ringkasan Analisis Loading Factor Komponen  Variabel Faktor Ekonomi Makro
Component Matrixa
 
 Component
 1
Tingkat Suku Bunga .835
Tingkat Inflasi Indonesia .946
Extraction Method: Principal Component Analysis.
a. 1 components extracted.
 
Hasil analisis faktor menunjukkan bahwa laju inflasi memiliki angka loading factor yang lebih tinggi dibandingkan tingkat suku bunga, menunjukkan bahwa laju inflasi memiliki pengaruh dominan terhadap faktor ekonomi makro, dimana tingkat suku bunga dan tingkat inflasi memiliki pengaruh dalam membentuk faktor ekonomi makro. Oleh karena itu, faktor ekonomi makro dapat ditentukan oleh tingkat suku bunga dan tingkat inflasi.  

Analisis Pengaruh Antar Variabel  

Untuk menentukan koefisien jalur pada bagian ini diselesaikan melalui model persamaan regresi secara bertahap sebagai berikut :  
Struktur 1:  Pengaruh faktor ekonomi makro (X1) dan kinerja keuangan (X2)
terhadap nilai perusahaan (Y), yang dapat dirumuskan dengan :  
Y = b1X1 + b2X2 + e1, sehingga membentuk persamaan sebagai
berikut: Y = 0,754X1 + 0,112X2  .....................................................  (3)
Struktur 2:  Pengaruh faktor ekonomi makro (X1) terhadap kinerja keuangan (X2),
dapat dirumuskan dengan : X2 = b3X1 + e1, sehingga membentuk
persamaan sebagai berikut  :  X2 = -0,214X1 ................... ...............  (4)
Dimana :
X1 adalah faktor ekonomi makro, X2 adalah kinerja keuangan, dan Y adalah nilai perusahaan.  
Tabel 4 Hasil Uji Pengaruh Faktor Ekonomi Makro dan Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan
 
 Koefisien Regresi    
Regresi Standar (β) t hitung P. Value Keterangan
X1                 Y 0,754 0,260 0,795 Tidak Signifikan
X2              Y 0,112 2,839 0,002 Signifikan
X1            X2 -0,214 -0,156 0,876 Tidak Signifikan

Pengujian Hipotesis

1)H1 : Faktor ekonomi makro berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan pada industri manufaktur di Bursa Efek Indonesia periode 20092011. Hasil analisis menunjukkan  nilai t hitung sebesar 0,260 dengan probabilitas 0,795. Artinya faktor ekonomi makro berpengaruh positif tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Hipotesis satu ditolak.  

2)H2 : Kinerja keuangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan pada industri manufaktur di Bursa Efek Indonesia periode 20092011. Hasil analisis menunjukkan nilai t hitung sebesar 2,839 dengan probabilitas 0,002. Artinya kinerja keuangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan, dengan kata lain hipotesis dua diterima.

3)H3 : Faktor ekonomi makro berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja keuangan pada industri manufaktur di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2011. Hasil analisis menunjukkan nilai t hitung sebesar -0,156 dengan probabilitas 0,876. Artinya faktor ekonomi makro berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap kinerja keuangan. Hipotesis tiga ditolak.

Pembahasan

1. Pengaruh Faktor Ekonomi Makro Terhadap Nilai Perusahaan
Faktor ekonomi makro yang diwakili oleh laju inflasi dan tingkat suku bunga berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, tetapi pengaruhnya tidak signifikan. 

Laju inflasi yang meningkat dapat meningkatkan nilai perusahaan, dan begitu juga sebaliknya. Hal ini disebabkan oleh rendahnya rata-rata laju inflasi selama periode pengamatan yang masih tergolong ringan, sehingga justru dapat merangsang pertumbuhan dunia usaha untuk memperluas produksinya. 

Sesuai dengan signaling theory, bergairahnya pertumbuhan dalam dunia usaha memberi signal positif bagi para investor untuk menginvestasikan dananya pada pasar modal sehingga jumlah permintaan saham meningkat dan harga saham sebagai cerminan dari nilai perusahaan juga ikut meningkat. 

Laju inflasi tertinggi selama periode pengamatan, yakni sebesar 6,96 persen yang terjadi pada tahun 2010 yang disebabkan oleh volatile foods karena musim paceklik yang melanda Indonesia di tahun 2010, sehingga menimbulkan demand pull inflation. 

Oleh karena penyebab terjadinya peningkatan inflasi adalah kelangkaan terhadap suatu jenis barang komoditas tertentu yang dapat segera teratasi begitu musim panen membaik, pemerintah tetap mempertahankan tingkat suku bunga SBI di kisaran angka 6 persen. Stabilnya tingkat suku bunga di Indonesia mampu menstimulasi perusahaan untuk menangkap peluang investasi yang ada, sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. 

Hal ini mendukung pendapat mengenai adanya hubungan positif antara inflasi dengan harga saham yang disebabkan oleh demand pull inflation (Samuelson, 2005).  

Pengaruh faktor ekonomi makro tidak signifikan terhadap nilai perusahaan. Terdapat empat alasan yang mendasarinya. Pertama, rendahnya rata-rata laju inflasi dan stabilnya tingkat suku bunga selama periode penelitian. 

Laju inflasi yaitu sebesar 4,51 persen masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan ratarata nilai perusahaan yang diukur dengan Price Earning Ratio (PER) yang mencapai 8,26 persen selama periode 2009-2011. 

Nilai PER menunjukkan perbandingan antara harga saham di pasar dengan pendapatan per lembar saham (earning per share/ EPS). 

Laju inflasi selama periode penelitian yang tergolong ringan memberikan sentimen positif terhadap harga saham perusahaan. 

Stabilnya tingkat suku bunga juga membuat investor lebih memilih saham sebagai sarana berinvestasi karena dapat memberikan tingkat keuntungan yang lebih besar dibandingkan jika berinvestasi pada deposito.  

Kedua, adanya perbedaan klasifisikasi sektor idustri riil oleh pemerintah dengan sektor industri yang ditetapkan oleh JASICA pada Bursa Efek Indonesia.

Perbedaan ini berpengaruh pada besaran nilai inflasi yang dihitung berdasarkan

Indeks Harga Konsumen (IHK). JASICA membagi sector riil menjadi 9 sektor. Pemerintah menetapkan komponen inflasi di Indonesia terdiri dari volatile foods (komponen harga bergejolak), administered price (komponen harga yang diatur pemerintah), core inflation (komponen inti) dan imported inflation (inflasi karena naiknya harga barang impor). 

Volatile foods yang terjadi pada tahun 2010 meliputi harga-harga barang yang tercermin dari Indeks Harga Konsumen (IHK) sektor riil yang terdiri dari tujuh kategori, yakni (1) bahan makanan, (2) makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, (3) perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar, (4) sandang, (5) kesehatan, (6) pendidikan, rekreasi dan olahraga, (7) transportasi dan komunikasi, serta jasa keuangan. 

Apabila terdapat kenaikan harga dari ketujuh kategori tersebut, maka komponen volatille foods akan bergerak naik dan mendorong laju inflasi domestik. 

Perbedaan klasifikasi ini yang menyebabkan data-data ekonomi makro yang dikeluarkan pemerintah tidak dapat mencerminkan kondisi sebenarnya yang terjadi di pasar modal. 

Hal tersebut yang menyebabkan faktor ekonomi makro di Indonesia seringkali tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap harga saham sebagai cerminan dari nilai perusahaan.  

Ketiga, tipe investor di Indonesia yang lebih senang melakukan transaksi saham dalam jangka pendek (trader atau spekulan), menyebabkan investor cenderung melakukan aksi profit taking dengan harapan memperoleh capital gain yang lebih tinggi di pasar modal dibandingkan berinvestasi di pada SBI. 

Para trader atau spekulan biasanya mengambil keputusan untuk membeli atau menjual saham berdasarkan analisis teknikal, yang lebih menekankan pada pola pergerakan harga berdasarkan data pasar masa lalu, sehingga tidak perlu lagi melakukan analisis terhadap variabel ekonomi maupun variabel perusahaan untuk mengestimasi nilai saham (Tandelilin, 2010). 

Hal ini sesuai dengan pernyataan Widoatmodjo (2009), dimana dalam perkembangan investasi modern, keputusan investasi lebih mengandalkan analisis teknikal dibandingkan analisis fundamental, karena pergerakan harga saham yang berulang-ulang sehingga membentuk pola
tertentu.  

3. Pengaruh Faktor Ekonomi Makro Terhadap Kinerja Keuangan
Perusahaan

Faktor ekonomi makro yang diwakili oleh laju inflasi dan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan, tetapi pengaruhnya tidak signifikan. Inflasi merupakan kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus menerus. 

Tingginya laju inflasi akan meningkatkan harga jual barangbarang dan menurunkan daya beli masyarakat karena turunnya pendapatan riil bagi masyarakat yang berpenghasilan tetap (Gilarso, 2008). 

Irving Fisher menyebutkan bahwa tingkat bunga nominal dipengaruhi oleh tingkat bunga riil dan tingkat inflasi, sehingga laju inflasi dapat mempengaruhi besarnya tingkat suku bunga. Apabila laju inflasi meningkat, pemerintah akan meningkatkan suku bunga SBI agar kestabilan moneter tetap terjaga.

Peningkatan suku bunga SBI bagi perusahaan dalam industri manufaktur akan berpengaruh pada nilai sekarang (present value) aliran kas perusahaan. Perusahaan dengan rasio pinjaman yang tinggi akan menyebabkan laba perusahaan berkurang karena harus membayar lebih banyak untuk biaya bunga dan terpaksa kehilangan kesempatan dalam berinvestasi. 

Hal tersebut menyebabkan laba yang diperoleh perusahaan berkurang. Rendahnya laba yang didapat oleh perusahaan menggambarkan rendahnya nilai Return on Equity (ROE). Nilai ROE yang rendah menunjukkan bahwa kinerja keuangan perusahaan mengalami penurunan karena perusahaan tidak mampu menghasilkan keuntungan dengan modal sendiri yang dimilikinya.  

Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat adanya hubungan negatif antara faktor ekonomi makro dengan kinerja keuangan. Meskipun demikian, faktor ekonomi makro ternyata tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan manufaktur di BEI periode 2009-2011, yang diukur dengan Return on Equity (ROE). 

Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, banyaknya jumlah sampel perusahaan manufaktur dalam penelitian ini yang didominasi oleh jenis barang-barang esensial atau barang kebutuhan pokok, dimana apabila terjadi perubahan pendapatan maka tidak akan mengurangi atau menambah jumlah permintaan terhadap barang esensial tersebut. 

Jenis barang-barang esensial pada industri manufaktur seperti sektor industri dasar dan kimia serta sektor industri barang konsumsi pada umumnya bersifat inelastis, yang berarti bahwa persentase perubahan kuantitas permintaan lebih kecil daripada persentase perubahan harga barang tersebut, sehingga tidak terlalu berdampak pada volume penjualan perusahaan.  

Kedua, rata-rata inflasi selama periode pengamatan yakni dari tahun 20092011 cukup rendah. Lonjakan inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2010 yang disebabkan oleh volatile foods  tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan manufaktur karena hanya sekitar 30 persen dari jumlah sampel perusahaan yakni sektor industri barang konsumsi yang terdiri dari industri makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau mengalami kenaikan harga. 

Sektor industri dasar dan kimia serta sektor aneka industri yang tidak termasuk dalam kategori volatile foods cenderung tidak mengalami kenaikan harga, sehingga laju inflasi yang terjadi tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan manufaktur dalam penelitian ini. 

Stabilnya tingkat suku bunga juga menyebabkan perusahaan dapat menangkap berbagai peluang investasi dengan biaya bunga yang rendah, sehingga perusahaan dapat memaksimalkan kinerjanya dan laba perusahaan tidak habis digunakan untuk membayar bunga. 

Hal tersebut menyebabkan perusahaan memiliki tingkat kesensitifan yang rendah terhadap laju inflasi dan tingkat suku bunga. Rendahnya kesensitifan perusahaan manufaktur terhadap laju inflasi dan tingkat suku bunga menyebabkan faktor ekonomi makro tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan manufakur.  Hasil penelitian ini menolak penelitian yang dilakukan oleh Demir (2007), Rachmawati (2012) dan Salman et al. (2011).  

Implikasi Penelitian  

Implikasi dari penelitian ini terbukti menunjukkan bahwa kinerja keuangan memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap nilai perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Faktor ekonomi makro berupa laju inflasi dan tingkat suku bunga terbukti tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa para investor selain mempertimbangkan analisis fundamental melalui analisis kinerja keuangan perusahaan juga melakukan analisis teknikal dalam mengambil keputusan untuk membeli atau menjual saham.  

KESIMPULAN

Simpulan
1)Faktor ekonomi makro memiliki pengaruh positif secara tidak signifikan terhadap nilai perusahaan.  
2)Kinerja keuangan  memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap nilai perusahaan.  
3)Faktor ekonomi makro memiliki pengaruh negatif secara tidak signifikan terhadap kinerja keuangan.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun