Pak Sudarmono, atau biasa dipanggil Pak Mono, adalah seorang pria paruh baya yang terkenal pendiam di Kampung Ketintang, Surabaya. Sudah 20 tahun ia mendiamkan istrinya, Bu Rini. Warga sekitar sering membicarakan pasangan ini, tetapi tak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi. Meski tak pernah berbicara, mereka tetap tinggal di rumah yang sama bersama tiga anak mereka, Andri, Siska, dan Dita.
Bu Rini sering terlihat berbicara kepada Pak Mono di ruang tamu atau dapur, tapi Pak Mono hanya menjawab dengan anggukan, gumaman, atau isyarat tangan. Anak-anak mereka, terutama Dita si bungsu, sering merasa tertekan melihat hubungan kedua orang tua mereka yang dingin seperti itu.
Hingga suatu hari, Andri mendapat ide. Ia menghubungi sebuah stasiun televisi lokal yang sering menayangkan acara mempertemukan orang-orang dengan konflik pribadi. Tim televisi setuju untuk membantu, dan mereka pun mengatur pertemuan di Taman Bungkul, tempat Pak Mono dan Bu Rini pertama kali bertemu puluhan tahun lalu.
Ketika hari pertemuan tiba, semua mata tertuju pada pasangan itu. Kamera menangkap raut wajah gugup Bu Rini dan ekspresi dingin Pak Mono. Setelah beberapa saat, pembawa acara mulai bertanya kepada Pak Mono, "Pak, apa sebenarnya yang membuat Anda mendiamkan Bu Rini selama 20 tahun ini?"
Pak Mono menatap istrinya, lalu menghela napas panjang. "Rini," katanya, berbicara untuk pertama kalinya di depan publik setelah dua dekade. "Aku merasa tersisihkan. Aku merasa tidak ada lagi ruang untukku di hidupmu setelah anak-anak lahir. Kamu selalu sibuk dengan mereka, sementara aku diabaikan."
Bu Rini terdiam, air matanya mengalir. "Aku tidak pernah bermaksud begitu, Pak. Aku pikir kamu paham kalau aku sibuk karena anak-anak butuh perhatian."
Pak Mono mengangguk perlahan, matanya berkaca-kaca. "Aku tahu. Tapi rasa cemburu itu terus tumbuh. Aku hanya tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya."
Suasana mendadak haru. Anak-anak mereka yang menyaksikan dari kejauhan menangis terisak. Namun, ketika semua orang merasa ini adalah akhir bahagia yang manis, Pak Mono tiba-tiba berkata, "Tapi ada satu hal lagi yang harus aku akui."
Semua orang terdiam. Pak Mono melanjutkan, "Aku sengaja mendiamkanmu karena ingin tahu sejauh mana kamu akan bertahan. Aku khawatir, kalau aku pergi lebih dulu, kamu tidak siap menghadapi hidup sendirian."
Kata-kata itu mengejutkan semua orang, termasuk Bu Rini. "Pak... kenapa kamu berpikir sejauh itu?"
Pak Mono menunduk. "Karena aku sayang kamu, Rin. Tapi aku memilih cara yang salah untuk menunjukkannya."
Mata Bu Rini membelalak, lalu ia tertawa kecil di sela tangisnya. "Kamu memang lucu, Pak. Tapi aku juga salah, karena aku tak pernah benar-benar mengerti perasaanmu."
Pak Mono tersenyum samar, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Mereka pun berpelukan, diiringi tepuk tangan dan sorakan dari anak-anak mereka serta tim televisi.
Hari itu, di Taman Bungkul yang penuh kenangan, akhirnya sebuah rahasia yang terpendam selama 20 tahun terungkap. Meski pahit, itu menjadi awal baru bagi keluarga kecil mereka di tengah hiruk-pikuk Kota Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H