Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Menulis itu Seperti Jatuh Cinta

11 Januari 2025   17:57 Diperbarui: 11 Januari 2025   19:08 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya Berat, Lama-Lama Bikin Nagih

Setiap kali ada yang bertanya, "Bagaimana sih cara jadi penulis?" Saya selalu menjawab dengan gaya serius---walaupun hati ini sudah ngakak duluan: "Menulis itu mudah, yang sulit itu duduk dan mulai menulis." Bayangkan, kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam scrolling TikTok untuk melihat kucing joget atau meme receh, tapi menulis satu paragraf saja sudah merasa seperti mendaki gunung es sambil membawa galon air.

Tapi, tenang saja, saudara-saudara! Menulis itu sebenarnya seperti jatuh cinta. Awalnya berat, penuh drama, dan bikin kepala pusing. Tapi kalau sudah dijalani, apalagi kalau sudah ada feedback (entah pujian atau kritik pedas), tiba-tiba kita merasa jadi manusia paling berbakat di dunia.

Awal yang Penuh Drama

Bayangkan pertama kali kita mencoba menulis. Ide sudah menari-nari di kepala, seolah-olah siap untuk menjadi karya masterpiece. Tapi begitu membuka laptop dan aplikasi pengolah kata, otak tiba-tiba blank. Jari yang tadinya lincah mengetik chat ke gebetan mendadak kaku, seperti tangan robot yang kehabisan baterai. Ini adalah fase paling menyebalkan.

Di sinilah kebanyakan orang menyerah. "Aduh, kayaknya menulis bukan bakat saya," katanya. Padahal, bakat itu overrated, Saudara-saudara! Kalau menulis hanya untuk orang berbakat, dunia ini tidak akan punya novel-novel receh yang akhirnya jadi best-seller. Bakat itu hanya awal, latihan dan ketekunanlah yang bikin kita berkembang. Jadi, anggap saja fase ini seperti PDKT: penuh perjuangan, tapi worth it kalau kita bertahan.

Inspirasi di Mana-Mana (Termasuk di Tempat Tidak Terduga)

Setelah kita melewati drama awal, biasanya inspirasi akan datang dari tempat-tempat yang tidak terduga. Lagi nyapu rumah, tiba-tiba muncul ide cerita tentang sapu terbang. Lagi antre di kasir supermarket, muncul gagasan tentang kisah cinta dua orang yang berebut barang diskon. Bahkan, ketika galau karena cicilan motor, kita bisa dapat ide untuk menulis puisi tentang perjuangan hidup.

Lucunya, semakin sering kita menulis, semakin peka kita terhadap hal-hal kecil di sekitar. Seperti detektif, kita mulai melihat detail yang sebelumnya terlewatkan. Kucing tetangga yang suka nongkrong di pagar bisa jadi tokoh utama cerita. Tukang bakso yang suaranya serak-serak basah mungkin punya kisah hidup dramatis. Menulis itu membuat kita lebih peka dan menghargai hal-hal sederhana dalam hidup.

Kritik: Cermin untuk Berkaca (Bukan untuk Pecah)

Nah, fase berikutnya adalah ketika tulisan kita mulai dibaca orang lain. Biasanya, reaksi pembaca terbagi dua: mereka yang memuji dan mereka yang mengkritik. Pujian itu menyenangkan, seperti es teh di siang bolong. Tapi kritik? Oh, itu seperti makan kerupuk tanpa gigi---sakit hati!

Namun, jangan lupa, kritik adalah cermin. Kalau ada yang bilang, "Tulisanmu terlalu kaku," mungkin itu tanda kita perlu lebih santai. Kalau ada yang bilang, "Ini plot-nya kayak sinetron!" ya bagus, berarti ada drama---tinggal diasah saja. Jadi, jangan ambil hati terlalu dalam. Kritikus itu sebenarnya supporter dalam bentuk menyebalkan. Mereka hanya ingin kita lebih baik, walaupun cara penyampaiannya kadang seperti dosen killer di kampus.

Menulis untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Menulis

Sebagian orang takut menulis karena merasa harus jadi sempurna. Padahal, tulisan tidak harus selalu serius atau penuh makna. Menulis bisa jadi cara untuk bersenang-senang. Kita bisa menulis cerita lucu, curhatan absurd, atau bahkan puisi tentang nasi goreng favorit kita. Yang penting, tulis saja!

Menulis juga tidak harus selalu untuk orang lain. Kadang, tulisan adalah cara kita berdamai dengan diri sendiri. Pernah dengar istilah "menulis adalah terapi"? Itu benar. Ketika kepala penuh dengan pikiran kacau, menuangkannya dalam tulisan bisa membuat kita merasa lebih ringan. Jadi, kalau tulisan kita tidak dibaca orang lain, ya tidak apa-apa. Yang penting, kita merasa lebih bahagia.

Nikmati Prosesnya

Menulis itu seperti makan bakso. Kadang ada bakso urat yang enak, kadang ada bakso isi telur yang bikin kaget, tapi semuanya tetap menyenangkan. Jangan terlalu fokus pada hasil akhir. Nikmati prosesnya, karena di sanalah letak keindahannya.

Dan ingat, tidak ada tulisan yang jelek. Semua tulisan punya tempatnya masing-masing. Jadi, kalau Anda merasa tulisan Anda jelek, itu hanya perasaan sementara. Seperti kata pepatah: "Jelek di mata orang lain, belum tentu jelek di hati pembaca sejati."

Jadi, mari menulis! Kalau Anda butuh motivasi, bayangkan tulisan Anda suatu hari akan membuat seseorang tertawa, menangis, atau bahkan terinspirasi. Itu adalah hadiah terbesar yang bisa diberikan seorang penulis. Kalau bisa menulis sambil tertawa seperti ini, kenapa tidak mulai sekarang? Jangan tunggu nanti, karena nanti itu kadang tidak pernah datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun