Berita tentang pemecatan Shin Tae-yong oleh PSSI dari jabatannya sebagai pelatih Tim Nasional Indonesia menjadi topik hangat di berbagai media. Judul seperti "PSSI Pecat Shin Tae-yong" langsung menyita perhatian pembaca, memantik diskusi di media sosial, dan tentu saja, menambah daftar panjang drama sepak bola di Tanah Air.Â
PSSI mengumumkan keputusan ini dengan alasan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pelatih asal Korea Selatan tersebut, meskipun kiprahnya sempat membawa secercah harapan bagi para pendukung Garuda. Namun, kata "pecat" sendiri menjadi pusat perhatian, mengingat konotasi dan dampaknya dalam pemberitaan.
Kalau ada kata yang sering menghiasi berita olahraga, terutama sepak bola, selain "gol" dan "offside," maka "pecat" pasti masuk daftar teratas. Kata ini sudah seperti bumbu wajib dalam berita yang membahas pelatih atau manajer klub---dari liga antah-berantah hingga panggung sepak bola nasional. Tapi, apakah "pecat" ini benar-benar seburuk itu? Dan apakah penggunaannya dalam jurnalistik selalu tepat? Mari kita bedah, dengan gaya santuy, tentu saja.
"Pecat" Itu Lugas, Tapi Tidak Selalu Kejam
Bagi sebagian orang, "pecat" terdengar seperti keputusan sadis yang menutup karier seseorang dengan brutal. Namun, dalam dunia olahraga, terutama sepak bola, kata "pecat" sebenarnya sudah jadi hal yang biasa. Bahkan, pelatih-pelatih besar dunia seperti Jose Mourinho atau Thomas Tuchel mungkin sudah punya koleksi "pecat" seperti koleksi trofi.
Kenapa begitu? Karena di dunia sepak bola, hasil adalah segalanya. Kalau tim kalah terus atau target tidak tercapai, kursi pelatih jadi panas, dan kata "pecat" pun turun dari langit. Jadi, kalau kita lihat dari konteks ini, "pecat" adalah konsekuensi profesional, bukan penghinaan pribadi.
Dalam Jurnalistik, "Pecat" Itu Tepat Sasaran
Sekarang, mari kita bicara soal bahasa jurnalistik. Dalam prinsip jurnalistik, ada tiga hal utama yang harus dipertimbangkan: kejelasan, netralitas, dan ketepatan agar tidak menimbulkan interpretasi yang bias atau sensasional. Kata "pecat" memenuhi semua kriteria ini.
Kejelasan: "Pecat" adalah kata yang langsung dan tidak bertele-tele. Semua orang paham maksudnya tanpa perlu membuka kamus. Dibandingkan dengan frasa seperti "mengakhiri kerja sama" atau "memberhentikan," kata "pecat" lebih cepat dicerna.
Akurasi: Kalau memang keputusan diambil sepihak oleh pihak pemberi kerja, maka "pecat" adalah kata yang paling akurat. Tidak perlu berbasa-basi. Kalau PSSI mengeluarkan Shin Tae-yong tanpa diskusi panjang atau kesepakatan bersama, ya itu "pecat," bukan "perpisahan damai."
Daya Tarik: Dalam jurnalistik, penggunaan kata sering kali disesuaikan dengan konteks dramatisasi yang wajar untuk memikat audiens. Tidak bisa dipungkiri, kata "pecat" punya daya tarik tersendiri. Judul berita dengan kata ini otomatis memancing klik. Coba bandingkan, mana yang lebih menggugah rasa ingin tahu: (a) "PSSI Pecat Shin Tae-yong" (b) "PSSI Mengakhiri Kerja Sama dengan Shin Tae-yong". Pilihan pertama (a) pasti lebih "wow," kan?
"Pecat" Dalam Budaya Populer
Uniknya, kata "pecat" tidak hanya hidup di dunia jurnalistik, tetapi juga sudah meresap ke budaya populer kita. Ingat adegan bos marah-marah di sinetron atau film? Pasti ujung-ujungnya ada dialog, "Kamu dipecat!" sambil melempar map ke meja. Kata ini begitu dramatis, begitu teatrikal.