Belakangan ini, muncul opini yang menyebut bahwa ekonomi Indonesia berada dalam kondisi "hopeless" atau tanpa harapan. Pandangan tersebut menyebutkan bahwa ada tiga masalah utama yang membuat ekonomi sulit bergerak maju, yaitu:
Risiko Kredit Macet: Perpanjangan restrukturisasi kredit yang dilakukan pemerintah dinilai memperbesar potensi munculnya "perusahaan zombie" atau perusahaan yang tidak lagi produktif tetapi tetap bertahan secara administratif. Menurut pendapat tersebut, hal ini menciptakan bom waktu bagi perbankan, karena debitor yang mendapatkan restrukturisasi sebenarnya sudah tidak mampu membayar.
-
Seretnya Likuiditas: Pandangan ini juga menyoroti bahwa likuiditas dalam negeri tertekan karena Surat Berharga Negara (SBN) dan instrumen moneter Bank Indonesia (BI) yang menyerap dana dari perbankan dan lembaga keuangan non-bank. Akibatnya, dana yang seharusnya mengalir ke sektor riil menjadi berkurang, sehingga menghambat ekspansi bisnis.
Utang Publik yang Tinggi: Total utang sektor publik Indonesia yang mencapai 79,5% dari PDB dikatakan berisiko, terutama karena sebagian besar utang berada dalam denominasi valuta asing. Jika terjadi capital outflow, dikhawatirkan akan melemahkan nilai tukar rupiah dan mengguncang stabilitas ekonomi.
Dengan tiga masalah tersebut, opini tersebut menyimpulkan bahwa ekonomi Indonesia berada dalam situasi sulit. Solusi yang diajukan termasuk memangkas APBN hingga 30%, menghentikan proyek besar seperti IKN, dan fokus pada program-program yang langsung dirasakan oleh masyarakat.
Namun, narasi yang terlalu pesimistis seperti ini perlu dilihat secara kritis. Meskipun tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia nyata, menyebutnya tanpa harapan adalah pendekatan yang tidak konstruktif. Dalam tulisan ini, saya akan menguraikan sudut pandang alternatif dan solusi yang lebih realistis.
Relaksasi Kredit: Solusi yang Diperpanjang, Bukan Masalah Tanpa Akhir
Perpanjangan restrukturisasi kredit oleh pemerintah memang bisa memunculkan risiko "perusahaan zombie" sebagaimana diingatkan oleh IMF. Namun, penting untuk diingat bahwa kondisi perekonomian global dan domestik masih dalam tahap pemulihan pasca-pandemi. Banyak pelaku usaha yang sebenarnya memiliki prospek baik namun mengalami kendala sementara akibat guncangan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Jika restrukturisasi dihentikan tiba-tiba, bukan hanya "perusahaan zombie" yang akan tereliminasi, tetapi juga perusahaan potensial yang seharusnya bisa bangkit.
Kuncinya adalah pengawasan ketat dan selektif dalam memperpanjang restrukturisasi kredit. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan perbankan perlu bekerja sama untuk memastikan hanya debitor dengan prospek bisnis yang jelas yang mendapatkan perpanjangan. Selain itu, diperlukan kebijakan tambahan seperti pendampingan bagi usaha kecil-menengah (UKM) agar mereka mampu memanfaatkan momentum pemulihan.
Likuiditas: Narasi yang Tidak Sebanding dengan Realitas
Pandangan bahwa likuiditas dalam negeri seret akibat penyerapan dana oleh Surat Berharga Negara (SBN) dan Bank Indonesia (BI) terlalu menyederhanakan masalah. Perlu diingat bahwa selama pandemi, peran pemerintah melalui SBN sangat krusial dalam menjaga kestabilan ekonomi. Bahkan di tengah suku bunga global yang tinggi, Indonesia mampu mempertahankan inflasi yang relatif rendah dibandingkan banyak negara berkembang lainnya.
Likuiditas dalam sistem perbankan sebenarnya masih cukup untuk mendukung sektor riil. Masalahnya lebih pada kurangnya permintaan kredit karena dunia usaha yang masih hati-hati menghadapi ketidakpastian global. Upaya Bank Indonesia melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan relaksasi seperti Loan-to-Value (LTV) menunjukkan adanya langkah konkret untuk merangsang penyaluran kredit. Yang diperlukan sekarang adalah mendorong kepercayaan pelaku usaha untuk kembali berinvestasi.
Utang Publik: Mengelola Risiko, Bukan Membesar-besarkan
Peningkatan rasio utang publik terhadap PDB menjadi 79,5% adalah hal yang perlu diwaspadai, tetapi juga harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Sebagai perbandingan, banyak negara dengan ekonomi yang lebih maju memiliki rasio utang yang jauh lebih tinggi. Selama utang digunakan untuk belanja produktif dan dikelola dengan baik, hal ini bukanlah ancaman langsung.
Pemerintah juga telah berupaya menyeimbangkan kebutuhan pembiayaan dengan menjaga stabilitas ekonomi. Salah satu langkahnya adalah diversifikasi sumber pembiayaan melalui Sovereign Wealth Fund (SWF) seperti Indonesia Investment Authority (INA). Selain itu, penerapan thematic bonds seperti yang diusulkan penulis sebelumnya sudah menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk menarik investasi berkelanjutan.
APBN dan Kebijakan Fiskal: Lokomotif yang Tidak Boleh Berhenti
Pemerintah mengandalkan APBN ekspansif untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan global. Namun, kritik terhadap alokasi anggaran yang dianggap kurang efisien perlu diterima dengan kepala dingin. Infrastruktur ekonomi, termasuk proyek strategis seperti Ibu Kota Negara (IKN), bukan hanya soal investasi jangka panjang, tetapi juga penciptaan lapangan kerja dan pemerataan pembangunan.
Mengabaikan proyek-proyek besar seperti IKN sepenuhnya bukanlah solusi. Yang diperlukan adalah memastikan bahwa proyek tersebut dikelola secara transparan dan memberikan manfaat nyata. Di sisi lain, pemerintah juga perlu terus memperbaiki efisiensi belanja dengan fokus pada program-program yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat, seperti subsidi energi yang lebih tepat sasaran dan program perlindungan sosial.
Solusi Realistis: Memadukan Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Penguatan UKM: Pemerintah perlu mempercepat implementasi kebijakan yang mendukung UKM, termasuk insentif pajak dan akses pembiayaan murah. UKM adalah tulang punggung ekonomi Indonesia dan memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi.
Diversifikasi Ekonomi: Ketergantungan pada komoditas harus dikurangi melalui hilirisasi industri dan pengembangan sektor jasa. Kebijakan hilirisasi yang sudah berjalan, seperti di sektor nikel, harus diperluas ke sektor lain.
Optimalisasi Peran SWF: INA harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menarik investasi asing dan mengurangi tekanan pembiayaan APBN. Fokus pada proyek-proyek dengan dampak ekonomi jangka panjang yang jelas.
Reformasi Pajak yang Berkeadilan: Pemerintah perlu memastikan bahwa reformasi pajak berjalan efektif dengan menyasar kelompok yang selama ini kurang memberikan kontribusi, seperti pengusaha rente dan sektor informal yang belum terjangkau pajak.
Peningkatan Kualitas SDM: Investasi pada pendidikan dan pelatihan vokasi harus menjadi prioritas utama untuk menciptakan tenaga kerja yang siap menghadapi tantangan ekonomi masa depan.
Optimisme yang Terukur
Ekonomi Indonesia tidaklah "hopeless." Sebaliknya, dengan potensi sumber daya alam dan manusia yang besar, kita memiliki peluang untuk keluar dari tekanan ekonomi global dengan solusi yang realistis dan terukur. Pesimisme berlebihan hanya akan menambah ketidakpastian dan melemahkan kepercayaan. Yang kita butuhkan adalah diskusi yang konstruktif dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan bersama, bukan narasi tanpa harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H