Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menunda Menikah, Pilihan atau Tuntutan Zaman?

6 November 2024   18:29 Diperbarui: 9 November 2024   12:38 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Databoks.katadata.co.id

Inflasi, harga properti yang melambung tinggi, serta biaya hidup yang semakin mahal membuat banyak pasangan muda berpikir dua kali sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Pernikahan bukan sekadar soal meresmikan hubungan, tetapi juga tentang kesiapan untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama jika memiliki anak di masa depan.

Alfin, 30 tahun, seorang karyawan di Bandung, berbagi pandangannya tentang masalah ekonomi ini. "Saya ingin menikah, tapi biaya hidup sekarang sangat tinggi. Belum lagi kalau sudah punya anak. Rasanya belum sanggup untuk menanggung beban finansial sebesar itu," ujarnya. Alfin tidak sendirian; banyak anak muda di perkotaan yang merasakan tekanan serupa.

Data dari BPS menunjukkan bahwa rata-rata biaya pernikahan di kota-kota besar di Indonesia terus meningkat, sementara pendapatan masyarakat tidak selalu mampu mengejarnya. Dengan kata lain, anak muda dihadapkan pada dilema antara memprioritaskan stabilitas finansial atau mengikuti norma sosial untuk menikah.

"Waithood", Menunggu Hingga Siap

Fenomena lain yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir adalah 'waithood', istilah yang merujuk pada periode menunggu atau menunda pernikahan hingga benar-benar siap. Waithood bukan hanya sekadar soal menunda pernikahan; ia juga menjadi simbol dari keinginan anak muda untuk meraih keseimbangan antara karier, kehidupan pribadi, dan hubungan sosial sebelum mengambil komitmen besar seperti pernikahan.

Bagi banyak anak muda, waithood adalah cara untuk memastikan bahwa mereka benar-benar siap dalam segala aspek kehidupan sebelum menikah. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan kebahagiaan pribadi. 

Banyak dari mereka yang tak lagi melihat pernikahan sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan. Sebaliknya, mereka mulai menyadari bahwa kebahagiaan juga bisa diraih melalui pencapaian pribadi, eksplorasi diri, dan hubungan yang sehat, bahkan tanpa status pernikahan.

Dina, seorang psikolog klinis di Surabaya, menjelaskan, "Generasi muda saat ini lebih memahami pentingnya kesehatan mental dan kebahagiaan pribadi. Mereka ingin memastikan diri mereka benar-benar siap secara emosional dan mental sebelum menikah, agar pernikahan mereka nantinya bisa lebih sehat dan langgeng."

Dampak Pergeseran Sosial dan Budaya

Pergeseran sosial ini tidak hanya berakar pada perubahan kondisi ekonomi dan gender role. Ada pula perubahan dalam cara pandang terhadap institusi pernikahan itu sendiri. 

Dalam beberapa tahun terakhir, konsep pernikahan mengalami pergeseran signifikan. Jika dahulu menikah adalah kewajiban yang 'harus' dipenuhi, kini hal itu berubah menjadi pilihan yang bisa diambil atau tidak.

Pandangan ini dipengaruhi oleh maraknya akses informasi dan perubahan budaya yang terjadi di seluruh dunia. Generasi muda Indonesia terpapar oleh gagasan dan pandangan dari negara-negara lain yang memandang pernikahan sebagai pilihan personal, bukan tuntutan sosial. Pergeseran ini membuat banyak anak muda merasa tak perlu terburu-buru untuk menikah hanya demi memenuhi ekspektasi sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun