Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menunda Menikah, Pilihan atau Tuntutan Zaman?

6 November 2024   18:29 Diperbarui: 6 November 2024   18:49 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dekade terakhir, Indonesia menyaksikan tren yang tak terduga---penurunan angka pernikahan yang signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pernikahan menurun drastis, mencapai titik terendah dalam beberapa dekade terakhir. Pada 2023 saja, angka ini menyusut hingga 7,51% dibandingkan tahun sebelumnya. Apa yang terjadi? Mengapa semakin banyak anak muda Indonesia memilih untuk tidak menikah, atau setidaknya menundanya?

Fenomena ini membawa kita pada pertanyaan besar: apakah ada perubahan paradigma sosial di kalangan anak muda yang kini lebih mandiri, ataukah ada faktor lain yang turut mempercepat perubahan tren ini?

Kemandirian Finansial dan Perubahan Gender Role

Para sosiolog dan ahli kependudukan menunjukkan adanya faktor penting yang membuat pernikahan tak lagi menjadi prioritas bagi sebagian besar anak muda, terutama perempuan. Dalam beberapa tahun terakhir, perempuan Indonesia kian berkesempatan menempuh pendidikan tinggi dan meraih posisi penting di dunia kerja. Dampaknya, ketergantungan ekonomi mereka terhadap pasangan atau suami semakin menipis. Kemandirian finansial ini memberikan ruang bagi perempuan untuk lebih bebas dalam menentukan pilihan hidupnya, termasuk dalam hal pernikahan.

Sebagai contoh, Sarah, seorang profesional muda berusia 28 tahun di Jakarta, mengungkapkan bahwa menikah bukanlah prioritas utamanya saat ini. "Saya ingin fokus pada karier saya dulu. Kalau menikah sekarang, saya merasa masih banyak hal yang belum siap, baik dari sisi karier maupun emosional," ungkapnya. Menurutnya, memiliki stabilitas finansial dan emosional sebelum menikah jauh lebih penting daripada harus memaksakan diri menikah di usia tertentu.

Dari sudut pandang sosiologi, perubahan ini mencerminkan perubahan peran gender di masyarakat. Dulu, peran utama perempuan sering dikaitkan dengan peran domestik atau sebagai ibu rumah tangga, namun kini peran tersebut semakin bergeser. Banyak perempuan yang lebih memilih untuk mengeksplorasi potensinya di bidang pendidikan atau karier terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan untuk menikah.

Tantangan Ekonomi dan Perhitungan Finansial yang Rumit

Di sisi lain, tingginya biaya hidup dan ketidakstabilan ekonomi juga berperan besar dalam menurunnya angka pernikahan. Berbeda dengan generasi sebelumnya, anak muda saat ini dihadapkan pada kondisi ekonomi yang tak selalu stabil. Inflasi, harga properti yang melambung tinggi, serta biaya hidup yang semakin mahal membuat banyak pasangan muda berpikir dua kali sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Pernikahan bukan sekadar soal meresmikan hubungan, tetapi juga tentang kesiapan untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama jika memiliki anak di masa depan.

Alfin, 30 tahun, seorang karyawan di Bandung, berbagi pandangannya tentang masalah ekonomi ini. "Saya ingin menikah, tapi biaya hidup sekarang sangat tinggi. Belum lagi kalau sudah punya anak. Rasanya belum sanggup untuk menanggung beban finansial sebesar itu," ujarnya. Alfin tidak sendirian; banyak anak muda di perkotaan yang merasakan tekanan serupa.

Data dari BPS menunjukkan bahwa rata-rata biaya pernikahan di kota-kota besar di Indonesia terus meningkat, sementara pendapatan masyarakat tidak selalu mampu mengejarnya. Dengan kata lain, anak muda dihadapkan pada dilema antara memprioritaskan stabilitas finansial atau mengikuti norma sosial untuk menikah.

'Waithood': Menunggu Hingga Siap

Fenomena lain yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir adalah 'waithood', istilah yang merujuk pada periode menunggu atau menunda pernikahan hingga benar-benar siap. Waithood bukan hanya sekadar soal menunda pernikahan; ia juga menjadi simbol dari keinginan anak muda untuk meraih keseimbangan antara karier, kehidupan pribadi, dan hubungan sosial sebelum mengambil komitmen besar seperti pernikahan.

Bagi banyak anak muda, waithood adalah cara untuk memastikan bahwa mereka benar-benar siap dalam segala aspek kehidupan sebelum menikah. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan kebahagiaan pribadi. Banyak dari mereka yang tak lagi melihat pernikahan sebagai satu-satunya jalan menuju kebahagiaan. Sebaliknya, mereka mulai menyadari bahwa kebahagiaan juga bisa diraih melalui pencapaian pribadi, eksplorasi diri, dan hubungan yang sehat, bahkan tanpa status pernikahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun