Orang-orang dalam lukisan itu berjalan bersama, tetapi mereka tidak benar-benar terlihat terhubung satu sama lain. Mereka semua tampak menuju arah yang sama, namun masing-masing tampak terpisah, terbungkus dalam ruang pribadinya sendiri.Â
Itu pun mungkin juga cerminan kehidupanku---aku berjalan bersama banyak orang, bertemu dengan banyak orang, tetapi pada akhirnya, aku tetap merasa ada ruang yang tidak bisa dijangkau oleh orang lain. Apakah itu hal yang buruk? Mungkin tidak. Mungkin justru di sanalah aku bisa menemukan jati diriku, dalam kesendirian yang terselip di tengah keramaian.
Hujan November ini, di balik semua dinginnya, membawa ketenangan tersendiri. Seolah-olah ia memberi waktu dan ruang untuk merenung. Mungkin hujan ini memang datang bukan hanya untuk membasahi tanah, tetapi juga untuk membasuh segala keraguan dan ketakutan yang ada dalam diriku.Â
Mungkin, sudah saatnya aku berhenti terlalu bergantung pada payung yang aku pegang selama ini dan mulai membuka diri, mulai membiarkan hujan menyentuhku, menghadapi dunia tanpa perlindungan.
Aku ingin mengingat perasaan ini, perasaan saat aku merenung tentang lukisan itu. Aku ingin menjadikannya bagian dari perjalananku, agar suatu saat aku bisa melihat kembali dan tahu bahwa aku pernah sampai pada titik ini.Â
Titik di mana aku berani menanggalkan payungku, berani berjalan di bawah hujan, meski aku tahu ada risiko dingin dan basah. Karena pada akhirnya, mungkin hanya dengan cara inilah aku bisa benar-benar memahami apa artinya menjadi diriku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H