Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku dan Hujan November

6 November 2024   12:00 Diperbarui: 6 November 2024   12:02 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lukisan aku dan hujan november. (Sumber: Artpal.com/DeepakArts)

November sudah datang, membawa serta hujan yang mulai membasahi beberapa wilayah di Indonesia setelah kemarau panjang yang melelahkan. Hujan ini seakan menyegarkan, membawa sejuk yang dinanti-nantikan.

 Ada rasa lega, seperti ada beban yang sedikit demi sedikit terangkat. Hujan membuat suasana jadi berbeda, mengubah panas menjadi dingin, kering menjadi basah. Di tengah kehadiran hujan ini, aku melihat sebuah lukisan sederhana yang penuh makna---lukisan sekumpulan orang berjalan di bawah payung, samar-samar, seperti siluet yang hanya terlihat bayangannya saja. 

Entah kenapa, ada sesuatu di dalamnya yang membuatku merenung, seolah-olah aku bisa melihat diriku sendiri di sana, berjalan bersama, berlindung di bawah payung masing-masing.

Kadang aku berpikir, perjalanan hidup ini mungkin tak jauh berbeda dengan yang tergambar dalam lukisan itu. Setiap orang memiliki payungnya sendiri, pelindung yang mereka bawa untuk melindungi diri dari dinginnya hujan. 

Payung itu bisa berarti apa saja: identitas yang kita bentuk, peran yang kita mainkan, atau bahkan dinding pelindung yang kita bangun agar tak terlalu tersentuh oleh dunia luar. 

Tapi, di balik setiap payung, ada seseorang yang berjalan dengan arah dan tujuan yang mungkin tak sepenuhnya jelas. Payung-payung itu berwarna cerah, namun sosok-sosok di bawahnya tampak samar, seolah-olah bayangan yang nyaris menyatu dengan hujan yang turun.

 Sama seperti aku yang kadang merasa diri ini berjalan dalam kesamaran, masih terus mencari tahu siapa aku sebenarnya di tengah dunia yang luas ini.

Di balik payung yang kita pegang, apa sebenarnya yang kita sembunyikan? Apakah itu rasa takut? Rasa ragu? Atau mungkin hanya sekadar keinginan untuk terlihat baik-baik saja di mata orang lain? Dalam perjalanan menemukan jati diri, aku sadar, sering kali aku memilih berlindung daripada menghadapi hujan. 

Aku takut dinginnya, takut basah kuyup oleh segala hal yang tak bisa kuperkirakan. Tapi apakah hidup ini selalu harus begitu? Apakah aku akan terus berjalan di bawah payung tanpa pernah mencoba merasakan hujan itu sendiri?

Lukisan ini membuatku berpikir, mungkin ada baiknya sekali waktu aku menanggalkan payung itu dan membiarkan diri basah. Mungkin sesekali aku perlu merasakan dingin yang menusuk, merasakan setiap tetes hujan yang jatuh, agar aku tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Karena siapa tahu, di balik rasa dingin dan becek, ada sesuatu yang selama ini aku cari---pemahaman yang lebih dalam tentang diriku sendiri, tentang jati diriku yang sesungguhnya.

Orang-orang dalam lukisan itu berjalan bersama, tetapi mereka tidak benar-benar terlihat terhubung satu sama lain. Mereka semua tampak menuju arah yang sama, namun masing-masing tampak terpisah, terbungkus dalam ruang pribadinya sendiri. 

Itu pun mungkin juga cerminan kehidupanku---aku berjalan bersama banyak orang, bertemu dengan banyak orang, tetapi pada akhirnya, aku tetap merasa ada ruang yang tidak bisa dijangkau oleh orang lain. Apakah itu hal yang buruk? Mungkin tidak. Mungkin justru di sanalah aku bisa menemukan jati diriku, dalam kesendirian yang terselip di tengah keramaian.

Hujan November ini, di balik semua dinginnya, membawa ketenangan tersendiri. Seolah-olah ia memberi waktu dan ruang untuk merenung. Mungkin hujan ini memang datang bukan hanya untuk membasahi tanah, tetapi juga untuk membasuh segala keraguan dan ketakutan yang ada dalam diriku. 

Mungkin, sudah saatnya aku berhenti terlalu bergantung pada payung yang aku pegang selama ini dan mulai membuka diri, mulai membiarkan hujan menyentuhku, menghadapi dunia tanpa perlindungan.

Aku ingin mengingat perasaan ini, perasaan saat aku merenung tentang lukisan itu. Aku ingin menjadikannya bagian dari perjalananku, agar suatu saat aku bisa melihat kembali dan tahu bahwa aku pernah sampai pada titik ini. 

Titik di mana aku berani menanggalkan payungku, berani berjalan di bawah hujan, meski aku tahu ada risiko dingin dan basah. Karena pada akhirnya, mungkin hanya dengan cara inilah aku bisa benar-benar memahami apa artinya menjadi diriku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun