Kartun serigala yang berharap bisa masuk ke rumah para babi, namun dihalangi oleh sesama babi, adalah metafora bagi loyalis yang mungkin ingin tetap "bermain" di rumah baru, meskipun membawa nilai-nilai lama yang berseberangan. Di tengah suasana transisi ini, ketidakcocokan prinsip antara loyalis Jokowi dan pendukung Prabowo menciptakan ironi dan paradoks dalam politik Indonesia---di mana ada niat bergabung, tetapi tidak ada keselarasan visi.
***
Seperti dalam kartun, mungkin saja para loyalis Jokowi pada akhirnya harus mengembara, mencari tempat lain yang mau menerima mereka, mungkin di luar lingkaran kekuasaan yang baru. Seperti serigala yang diusir dari rumah babi, mereka dihadapkan pada realitas bahwa loyalitas kepada pemimpin terdahulu tidak cukup untuk menjamin posisi di rezim baru. Mungkin ada tawaran "ciuman kasih" dalam bentuk kompromi politik atau bahkan kesediaan untuk beradaptasi dengan kebijakan baru. Namun, bagi rezim baru yang sudah memiliki rencana dan para pendukung setia, kehadiran mereka mungkin justru dianggap mengganggu.
Dalam politik, setiap transisi kekuasaan membawa pembersihan, penyaringan, dan penataan ulang. Orang-orang lama yang dulu dianggap "loyal" kini harus membuktikan kesetiaan baru mereka atau menerima bahwa era mereka telah berlalu. Dan bagi para pendukung Prabowo, masa depan akan dibangun dengan atau tanpa kehadiran loyalis Jokowi.
Seperti kata salah satu babi dalam kartun itu, "Aku tidak peduli meskipun dia meniupkan ciuman untukmu, dia tidak akan tinggal di sini." Pada akhirnya, setiap rezim memiliki "rumahnya" sendiri, dengan para "penghuninya" yang terpilih, dan bagi yang lainnya, kisah mereka mungkin hanya akan berakhir sebagai serigala yang berjalan dengan tongkat dan bungkusan di punggung, mencari tempat lain untuk memulai kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H