Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menimbang Oportunisme dalam Pergantian Kekuasaan

31 Oktober 2024   12:29 Diperbarui: 31 Oktober 2024   12:30 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam salah satu kartun sederhana, terlihat tiga babi berdiri di depan rumah. Seekor serigala kecil menggandeng salah satu babi, wajahnya sendu dengan tongkat dan bungkusan di bahunya---simbol klasik seseorang yang diusir atau "minggat" dari rumahnya. Sang serigala, yang selama ini digambarkan sebagai sosok berbahaya, kini tampak tak lagi buas; ia lebih mirip seorang pengembara yang mencari tempat perlindungan. Tapi seekor babi di pintu mengucapkan kalimat tegas, "Aku tidak peduli meskipun dia meniupkan ciuman untukmu, dia tidak akan tinggal di sini." Serigala yang kehilangan tempat tinggal di mana-mana, tak diterima di tempat asalnya, dan bahkan tak diterima di antara para babi, menggambarkan situasi yang penuh ironi.

Jika kita tarik metafora kartun ini ke dalam panggung politik Indonesia, serigala yang membawa bungkusan itu tampak mencerminkan loyalis dan pendukung setia Presiden Jokowi, yang kini sedang mengincar tempat di pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto. Dengan transisi kekuasaan yang terjadi pada 20 Oktober 2024, mereka tak lagi punya "rumah" politik. Mereka berusaha beradaptasi, mungkin berharap diterima di barisan kabinet atau lingkaran kekuasaan baru. Namun, seperti serigala dalam cerita kartun, niat baik dan kesetiaan mereka kepada pemimpin terdahulu tampaknya tidak cukup untuk mengamankan tempat di rumah yang baru.

***

Bagi banyak pendukung Presiden Jokowi, transisi ke rezim Prabowo adalah perubahan besar yang menuntut adaptasi. Tak sedikit dari mereka yang dulu berkampanye habis-habisan untuk Jokowi, membela setiap kebijakan pemerintahannya, dan bahkan menyerang kritik yang ditujukan kepada sang presiden. Kini, mereka tak memiliki pilihan lain selain mendekati lingkaran baru, mencoba menyakinkan bahwa pengalaman mereka selama era Jokowi dapat menjadi aset bagi pemerintahan Prabowo.

Serigala yang dulunya buas kini membawa "ciuman kasih"---entah itu dalam bentuk loyalitas, pengalaman, atau bahkan janji untuk bersikap netral. Mereka berharap bahwa pengabdian mereka di masa lalu cukup untuk mendapatkan tempat di rumah kekuasaan baru. Mereka datang dengan segala pengalaman dalam mengelola kebijakan, proyek infrastruktur, dan segala capaian era Jokowi. Namun, seperti dalam kartun, babi-babi yang baru tampak tidak terkesan. Kata-kata, "Aku tidak peduli meskipun dia meniupkan ciuman untukmu, dia tidak akan tinggal di sini," mengandung nada sinis yang sering kita dengar dalam politik. Sebuah penolakan halus yang menyiratkan bahwa, "Kami tidak butuh loyalis Jokowi di sini."

***

Penolakan terhadap loyalis rezim sebelumnya bukanlah hal baru dalam politik. Ini adalah bagian dari siklus politik yang alami, di mana rezim baru berusaha menciptakan jarak dari rezim yang digantikannya. Bagi pendukung Prabowo, kehadiran loyalis Jokowi di kabinet atau lingkar kekuasaan bisa dianggap sebagai pengganggu stabilitas visi baru yang ingin dijalankan. Tidak hanya itu, orang-orang ini mungkin dianggap sebagai mata-mata atau batu sandungan dalam menerapkan agenda yang berbeda dari yang sudah mereka perjuangkan selama ini.

Skeptis terhadap loyalis Jokowi, para pendukung Prabowo mungkin bertanya-tanya, "Apakah mereka benar-benar tulus atau hanya ingin tetap memiliki kekuasaan?" Dan dalam politik Indonesia yang penuh dinamika, kesetiaan sering kali dinilai dari kepentingan pribadi. Para loyalis Jokowi datang membawa bungkusan penuh pengalaman dan prestasi era lalu, tetapi bagi Prabowo dan lingkaran terdekatnya, mereka tetap saja "serigala"---sosok yang dulu mereka lawan dan yang kini ingin mendapat tempat di bawah payung baru.

***

Di era pemerintahan Jokowi, banyak kebijakan yang digembar-gemborkan sebagai "pro-rakyat," meskipun tak jarang mendapat kritik karena dianggap berfokus pada infrastruktur fisik dan kurang memperhatikan kesejahteraan sosial. Kini, dengan Prabowo mengambil alih tampuk kekuasaan, banyak yang mengharapkan perubahan kebijakan yang lebih strategis, bahkan mungkin kontradiktif dengan visi Jokowi. Kebijakan-kebijakan lama yang dulu dipertahankan mati-matian oleh loyalis Jokowi, kini berada di bawah sorotan tajam, menuntut penyesuaian atau bahkan penghapusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun