Di negara-negara Skandinavia, afirmasi gender tidak hanya diwujudkan melalui kebijakan kuota, tetapi juga melalui upaya sistematis dalam membangun budaya politik yang ramah gender.Â
Misalnya, sistem proporsional tertutup di negara-negara ini memungkinkan partai politik memiliki kontrol lebih besar untuk memastikan perempuan ditempatkan di posisi teratas daftar pemilih.Â
Sebaliknya, sistem proporsional terbuka di Indonesia, seperti yang disebutkan dalam penelitian Prihatini (2019), justru menyulitkan perempuan karena sistem ini lebih memprioritaskan calon dengan akses modal yang besar.Â
Prihatini juga menunjukkan bahwa perempuan cenderung terpinggirkan karena mereka kurang memiliki akses ke sumber daya keuangan dibandingkan laki-laki, sehingga membuat mereka sulit untuk membeli posisi strategis dalam daftar partai.
Selain itu, faktor lain yang menjadi tantangan di Indonesia adalah budaya patriarki yang mendalam, yang sering kali membatasi ruang gerak perempuan dalam politik.Â
Penelitian Sari dan Rozikin (2022) menunjukkan bahwa meskipun undang-undang telah menetapkan kuota keterwakilan perempuan, partisipasi perempuan di DPR RI masih sangat rendah karena norma-norma sosial yang menempatkan perempuan dalam peran domestik.Â
Sebagai perbandingan, di beberapa negara seperti Rwanda, perempuan justru mendapatkan dukungan kuat dari kebijakan nasional yang mewajibkan keterwakilan minimal 30% di parlemen, yang kemudian diikuti dengan perubahan signifikan dalam pandangan masyarakat terhadap perempuan pemimpin.
Selain itu, partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia sering kali dibatasi oleh praktik politik uang dan dinasti politik.Â
Menurut Wardani dan Subekti (2021), sekitar 44% kandidat perempuan yang terpilih dalam Pemilu 2019 berasal dari dinasti politik.Â
Dinasti politik ini memberikan akses kepada sumber daya finansial dan jaringan politik yang lebih besar, yang sering kali sulit dijangkau oleh kandidat perempuan yang tidak memiliki hubungan politik.Â
Di sisi lain, negara-negara seperti Jerman dan Prancis memiliki regulasi ketat untuk mengurangi pengaruh politik dinasti dan memperkuat inklusi perempuan dalam politik melalui pendidikan politik yang masif dan program pemberdayaan perempuan.