Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Prediksi Kemenangan Calon Independen pada Pilkada DKI Jakarta 2024, Sebuah Analisis Sosiologis

20 Agustus 2024   13:57 Diperbarui: 21 Agustus 2024   06:34 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PKS, saat konferensi pers Konsolidasi Nasional Calon Kepala Daerah Pilkada 2024, Selasa (20/8/2024) di ICE BSD, Tangerang. (KOMPAS.com/Tria Sutrisna)

Dalam Pilkada DKI Jakarta 2024, ada satu fenomena menarik yang layak untuk diperhatikan: potensi kemenangan calon independen. Fenomena ini tidak hanya berkaitan dengan dinamika politik lokal, tetapi juga dengan sifat antitesis yang melekat pada masyarakat Indonesia. 

Masyarakat Indonesia dikenal memiliki kecenderungan untuk memilih opsi yang berbeda atau berlawanan dengan arus utama, terutama ketika mereka merasa bahwa pilihan yang ditawarkan oleh kekuatan politik besar tidak mencerminkan kepentingan atau aspirasi mereka. 

Sikap antitesis ini dapat dikaitkan dengan teori sosiologi yang dikemukakan oleh Emile Durkheim, seorang sosiolog Prancis yang dikenal dengan teorinya tentang solidaritas sosial. Durkheim membedakan dua jenis solidaritas: mekanik dan organik. 

Solidaritas mekanik terjadi dalam masyarakat yang homogen di mana individu cenderung mengikuti aturan dan nilai-nilai yang sama. Sebaliknya, solidaritas organik muncul dalam masyarakat yang lebih kompleks dan beragam, di mana individu lebih bebas untuk mengekspresikan perbedaan dan berperan dalam berbagai fungsi sosial.

Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, solidaritas organik ini tampak jelas. Masyarakat yang lebih kompleks dan terdiversifikasi di perkotaan seperti Jakarta cenderung memiliki beragam pandangan politik dan preferensi, yang memungkinkan munculnya calon independen sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi kekuatan politik besar seperti KIM Plus. 

Pilihan terhadap calon independen dapat dilihat sebagai ekspresi solidaritas organik, di mana masyarakat tidak lagi merasa terikat pada satu struktur kekuasaan tertentu, tetapi mencari alternatif yang lebih mencerminkan keragaman dan kebebasan mereka.

Pilihan untuk mendukung calon independen ini juga dapat dilihat sebagai respons terhadap apa yang dianggap sebagai praktik oligarki oleh KIM Plus. Ketika satu koalisi besar mendominasi, masyarakat yang merasa tidak terwakili oleh pilihan yang ada cenderung mencari alternatif yang lebih sesuai dengan nilai-nilai demokratis mereka. 

Dalam hal ini, calon independen menawarkan kesempatan bagi masyarakat untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka terhadap status quo dan mendukung kandidat yang dianggap lebih merakyat dan bebas dari pengaruh oligarki.

Namun, meskipun ada dukungan yang signifikan dari segmen tertentu masyarakat, calon independen tetap menghadapi tantangan besar. Struktur politik yang didominasi oleh partai besar, keterbatasan sumber daya, serta akses yang terbatas ke media massa menjadi kendala yang harus diatasi oleh calon independen. Di sinilah peran penting dari dukungan masyarakat yang kuat dan terorganisir untuk mendorong kemenangan calon independen dalam Pilkada DKI Jakarta 2024.

***

Sikap antitesis dalam masyarakat Indonesia, yang sering kali memilih jalan berbeda dari arus utama, tidak hanya dipengaruhi oleh preferensi individu tetapi juga oleh dinamika sosial yang lebih luas. Sosiolog Pierre Bourdieu menawarkan perspektif yang relevan melalui konsep habitus---seperangkat disposisi yang terbentuk dari pengalaman dan lingkungan sosial individu. Habitus mempengaruhi cara orang berpikir, merasakan, dan bertindak, termasuk dalam konteks politik.

Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, habitus masyarakat urban yang cenderung kritis dan independen berperan penting dalam membentuk sikap antitesis. Jakarta, sebagai pusat urbanisasi dan modernisasi di Indonesia, memiliki populasi yang semakin terdidik, dengan akses lebih besar terhadap informasi dan media. Akibatnya, masyarakat Jakarta lebih cenderung mempertanyakan status quo dan mencari alternatif yang lebih sesuai dengan nilai-nilai yang mereka yakini, termasuk kebebasan, transparansi, dan partisipasi politik yang lebih inklusif.

Calon independen menjadi representasi dari perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang dianggap monopolistik. Mereka menawarkan narasi yang berbeda dari calon-calon partai besar, sering kali dengan fokus pada reformasi dan perubahan yang diinginkan oleh masyarakat. Hal ini menarik bagi pemilih yang merasakan adanya ketidakpuasan terhadap sistem yang ada, terutama mereka yang melihat KIM Plus sebagai simbol dari praktik oligarki yang mengancam prinsip demokrasi.

Namun, meskipun dukungan terhadap calon independen sebagai ekspresi antitesis ini kuat, tantangan dalam memenangkan Pilkada tetap besar. Calon independen harus mampu menggerakkan habitus masyarakat ini menjadi kekuatan politik nyata, dengan mengorganisir dukungan yang solid, memanfaatkan media sosial untuk kampanye yang efektif, dan menarik perhatian media arus utama untuk meningkatkan profil mereka. Selain itu, mereka juga perlu menavigasi berbagai hambatan birokratis dan regulasi yang sering kali dirancang untuk menguntungkan calon-calon dari partai besar.

Teori  habitus Bourdieu menunjukkan bahwa meskipun individu dan kelompok dapat bertindak secara antitesis terhadap struktur yang ada, mereka tetap berada dalam batas-batas yang ditentukan oleh lingkungan sosial mereka. Dalam konteks ini, calon independen harus dapat mengubah dukungan antitesis ini menjadi basis politik yang kuat, dengan memahami dan menggerakkan habitus masyarakat Jakarta yang kritis dan independen.

Pada akhirnya, meskipun calon independen menghadapi banyak rintangan, kemenangan mereka dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 bukanlah sesuatu yang mustahil. Dengan dukungan yang kuat dari masyarakat yang memiliki sikap antitesis, serta strategi kampanye yang efektif, mereka dapat mengubah dinamika politik di Jakarta dan mungkin memberikan kejutan besar dalam kontestasi demokrasi yang semakin kompetitif ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun