Pada bagian terakhir ini, Elder Brown menghadapi konsekuensi langsung dari tindakan dan keputusan yang diambilnya di Macon. Berangkat dari toko minuman keras dengan semangat yang salah arah, Elder Brown bertemu kembali dengan Balaam, keledainya, dan berusaha untuk kembali ke rumah dalam keadaan mabuk yang parah. Perjalanan pulang ini tidak hanya fisik tetapi juga simbolik, menandai perjuangan batin Elder Brown yang berusaha untuk mendamaikan tindakan masa lalunya dengan harapan akan penebusan.
Di tengah perjalanan pulang, interaksi dengan anak muda yang riang di kota menunjukkan kegagalan Elder Brown untuk mempertahankan martabat dan kendali diri. Menyerah pada ajakan mereka untuk bergabung dalam perayaan lebih lanjut hanya menambah perasaan kehilangan diri dan keputusasaan. Momen-momen ini, yang dipenuhi dengan tawa dan ejekan yang seharusnya bersifat ramah, sebaliknya menunjukkan betapa jauhnya Elder Brown telah tersesat dari prinsip-prinsipnya.
Setibanya di rumah, konfrontasi dengan istrinya, Hannah Brown, menjadi puncak dari kisah ini. Hannah, yang telah menunggu dengan cemas dan frustrasi, langsung mengenali keadaan suaminya yang mabuk. Konfrontasi mereka bukan hanya mengenai uang atau bonnet yang dibelikan Elder Brown, tetapi lebih mendalam tentang kepercayaan, pengkhianatan, dan kekecewaan yang telah terakumulasi selama ini.
Keterbukaan Elder Brown tentang keadaannya dan pengakuannya tentang ketidakmampuan untuk mengontrol dirinya sendiri membawa momen kejujuran yang menyakitkan tetapi diperlukan. Dialog antara dia dan Hannah membuka jalan bagi pengampunan dan pemahaman, menunjukkan bahwa cinta dan komitmen dalam pernikahan mereka masih ada, meski tersembunyi di balik konflik dan kesalahpahaman.
Ketika Hannah membantu Elder Brown untuk kembali ke dalam rumah, ada sebuah gerakan menuju penebusan dan pemulihan. Penerimaan Hannah terhadap kesalahan suaminya dan keinginannya untuk tetap mendukungnya dalam kondisi apapun menunjukkan kekuatan dan kedalaman hubungan mereka, memungkinkan mereka untuk menghadapi masa depan dengan harapan baru.
Kesimpulannya, kisah Elder Brown menawarkan pelajaran tentang kerapuhan manusia, kekuatan cinta dan penebusan, serta pentingnya memiliki keberanian untuk menghadapi dan mengatasi kesalahan kita sendiri. Kisah ini, dengan segala liku dan emosinya, menutup dengan catatan yang berharap tetapi realistis tentang kemampuan untuk berubah dan memperbaiki diri.
***
Humor dalam cerita pendek ini terutama bersumber dari situasi yang absurd dan perilaku tidak terduga dari karakter utama, Elder Brown, yang kontras dengan harapan dan norma sosial. Humor juga muncul dari interaksi yang sering kali tidak sengaja komikal antara Elder Brown dan karakter lain, serta dari penggambaran berlebihan situasi yang sebenarnya tragis atau serius. Berikut beberapa contoh humor dalam cerita:
1. Situasi Komikal: Saat Elder Brown terjatuh dari keledainya karena terkejut oleh seekor babi, situasinya digambarkan dengan cara yang lucu:
"End over end went the man of prayer, finally bringing up full length in the sand, striking just as he should have shouted 'free' for the fourth time in his glorious chorus."
Ini lucu karena kecelakaan serius dipresentasikan dalam cara yang ringan dan teatral.
2. Penggunaan Bahasa: Cara Elder Brown berbicara dan reaksinya terhadap situasi tertentu sering kali humoris. Misalnya, saat dia mabuk dan berbicara kepada keledainya, Balaam:
"You're a goldarn liar, Balaam, and, blast your old buttons, you kin walk home by yourself, for I'm danged if you sh'll ride me er step."
Frasa seperti "goldarn liar" dan "blast your old buttons" adalah ungkapan yang mengundang tawa karena kekhasannya dan penggunaannya dalam situasi yang tegang.