Di banyak negara, student loan telah menjadi alat penting untuk membantu mahasiswa mencapai pendidikan tinggi. Namun, efektivitas dan dampak dari kebijakan ini berbeda-beda, tergantung pada detail dan konteks sosio-ekonomi masing-masing negara. Melalui analisis sistem student loan di beberapa negara, kita dapat menarik pelajaran berharga untuk mempertimbangkan penerapannya di Indonesia.
Amerika Serikat adalah contoh paling terkenal dalam hal student loan, dimana total utang pendidikan mahasiswa telah mencapai triliunan dolar. Di sini, student loan dianggap sebagai beban oleh banyak lulusan karena tingginya biaya pendidikan dan bunga pinjaman yang juga tinggi. Ini menunjukkan bahwa tanpa regulasi yang memadai, student loan dapat menimbulkan masalah keuangan jangka panjang bagi lulusan. Lebih lanjut, sistem ini sering kali meningkatkan kesenjangan sosial karena mahasiswa dari latar belakang ekonomi yang lebih rendah cenderung mengambil lebih banyak utang dan mengalami kesulitan lebih besar dalam pembayarannya.
Di sisi lain, Australia dan Inggris menawarkan sistem pembayaran kembali yang tergantung pada penghasilan. Di kedua negara ini, pembayaran kembali pinjaman baru dimulai ketika pendapatan lulusan mencapai batas tertentu. Sistem ini secara signifikan mengurangi beban keuangan bagi lulusan baru yang sering kali memulai karier dengan gaji yang lebih rendah. Hal ini menciptakan model yang lebih berkelanjutan dan adil, yang memungkinkan lebih banyak individu untuk mengakses pendidikan tinggi tanpa takut terjerat utang.
Jerman, di sisi lain, memberikan contoh pendidikan tinggi yang hampir sepenuhnya dibiayai oleh negara untuk warga negaranya, mengurangi kebutuhan akan student loan. Pendekatan ini mempromosikan akses yang lebih luas ke pendidikan tinggi, meningkatkan kesetaraan sosial dan ekonomi di antara warga. Ini menunjukkan bahwa pendidikan yang dibiayai penuh oleh negara dapat menjadi alternatif yang efektif terhadap model student loan yang berbasis hutang.
Dari ketiga contoh ini, kita dapat melihat bahwa keefektifan student loan sangat bergantung pada struktur ekonomi dan kebijakan pendidikan setiap negara. Untuk Indonesia, penting untuk mengevaluasi kebutuhan dan kondisi lokal sebelum mengadopsi atau menyesuaikan model dari negara lain. Kebijakan yang diambil harus memperhatikan kemampuan pembayaran kembali mahasiswa, tingkat suku bunga yang wajar, dan dukungan finansial lainnya untuk memastikan bahwa student loan benar-benar membantu, bukan membebani, mahasiswa.
***
Salah satu aspek penting dalam mempertimbangkan kebijakan student loan adalah memahami kelebihan dan kekurangan dari sistem yang ada di berbagai negara. Kita dapat mempelajari dari model yang berhasil untuk menghindari kesalahan yang sama yang mungkin terjadi di Indonesia.
Kelebihan sistem berbasis penghasilan, seperti yang diterapkan di Australia dan Inggris, terletak pada fleksibilitas pembayaran yang menyesuaikan dengan kondisi finansial lulusan. Ini meminimalisir risiko gagal bayar dan tekanan finansial pada awal karier. Kelebihan lainnya adalah pemberian kesempatan yang lebih besar kepada individu dari berbagai latar belakang ekonomi untuk mengakses pendidikan tinggi tanpa dibebani oleh kekhawatiran utang jangka panjang.
Namun, kekurangan dari sistem ini juga perlu dipertimbangkan. Misalnya, pembayaran yang berbasis penghasilan mungkin menyebabkan periode pembayaran yang lebih panjang dan total pembayaran yang lebih besar karena akumulasi bunga. Selain itu, sistem ini mungkin kurang memberikan insentif bagi individu untuk meningkatkan penghasilan mereka, karena kenaikan pendapatan bisa langsung berdampak pada kenaikan cicilan pinjaman mereka.
Di lain pihak, negara seperti Jerman yang menawarkan pendidikan tinggi gratis atau subsidi besar menunjukkan bahwa investasi pemerintah dalam pendidikan bisa memiliki dampak positif yang signifikan terhadap akses pendidikan dan kesetaraan sosial. Model ini membantu mengurangi ketergantungan pada pinjaman pendidikan dan meningkatkan kesempatan bagi semua warga negara untuk mendapatkan pendidikan tinggi tanpa mempertaruhkan stabilitas finansial mereka di masa depan.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, di mana beban utang pendidikan sangat tinggi, banyak lulusan menghadapi kesulitan finansial yang serius setelah menyelesaikan studi. Hal ini menggarisbawahi perlunya sistem yang lebih mendukung dan berkelanjutan yang tidak hanya mengandalkan utang sebagai sarana pembiayaan pendidikan.