Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Menemukan Kebahagiaan dalam Diri

29 April 2024   06:26 Diperbarui: 29 April 2024   06:40 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Bungkul, Surabaya. (SHUTTERSTOCK)

Di hari Minggu yang cerah, Sari menapaki jalanan berbatu Taman Bungkul yang ramai, hatinya hancur. Baru saja ia menerima kabar pahit dari Bima, kekasihnya selama tiga tahun, yang tiba-tiba menyatakan bahwa cintanya telah usai. Sari merasa dunianya runtuh, tiap langkahnya terasa berat seakan mengangkat beban kenangan yang tiba-tiba menjadi luka.

Duduk termenung di salah satu bangku taman, Sari mencoba meredam gejolak emosinya. Taman itu dipenuhi oleh suara anak-anak yang bermain dan keluarga-keluarga yang menikmati akhir pekan, namun suara itu bagaikan sayup-sayup terdengar, terhalang oleh kabut kesedihannya yang pekat. Di tengah keputusasaannya, seorang wanita paruh baya dengan senyum lembut mendekatinya. Wanita itu menawarkan tempat duduk di sebelahnya, sebuah gestur sederhana yang terasa menghangatkan.

Wanita tersebut, bernama Dewi, memulai percakapan tanpa harapan apa pun, hanya berbagi kehangatan dan kehadiran. Sari mendengarkan dengan setengah hati, hingga cerita Dewi tentang bagaimana dia menemukan kebahagiaan dalam kesendirian setelah ditinggalkan suaminya usai empat belas tahun pernikahan mulai menarik perhatiannya. Dewi berbicara tentang penerimaan dan pencarian kekuatan dalam diri, sebuah proses yang ia dokumentasikan dalam sebuah buku yang ditulisnya, "Menemukan Kebahagiaan dalam Diri."

Mengakhiri percakapan mereka, Dewi memberikan buku tersebut kepada Sari. Meskipun hatinya masih luka, perlahan ada rasa penasaran yang tumbuh. Sari mulai membuka halaman pertama buku itu, mencari makna di balik kata-kata yang tertulis.

***

Suasana malam hari di taman bungkul. (KOMPAS/JUMARTO YULIANUS)
Suasana malam hari di taman bungkul. (KOMPAS/JUMARTO YULIANUS)

Setelah pertemuan itu di Taman Bungkul, Sari membawa pulang buku yang diberikan Dewi. Malam itu, ia mulai membaca, lampu kamar hanya menerangi sudut tempat ia duduk, menciptakan lingkungan yang intim antara dirinya dan kata-kata yang menari di halaman-halaman buku. Setiap kata yang dibaca seakan menjadi obat yang perlahan menyembuhkan luka hatinya.

Buku itu membahas tentang pentingnya mengenali dan menerima perasaan sendiri, dan menemukan kebahagiaan yang tidak tergantung pada orang lain. Sari menemukan dirinya sering terhenti, merenungi pengalaman pribadinya dan membandingkannya dengan narasi dalam buku. Dari halaman ke halaman, ia belajar tentang keberanian menghadapi kesedihan dan menemukan kedamaian dalam kesendirian.

Pagi berganti siang dan siang berganti sore, Sari menghabiskan waktunya tidak hanya dengan membaca tapi juga merenung dan menulis diary. Ia mencatatkan perasaannya, pemikirannya, dan wawasan baru yang diperoleh dari buku tersebut. Dengan setiap catatan, ia merasa seperti sedang meletakkan satu demi satu batu bata yang akan membangun fondasi baru dalam hidupnya.

Di akhir pekan, Sari memutuskan untuk kembali ke Taman Bungkul. Kali ini, langkahnya lebih ringan, dan matanya lebih terbuka untuk melihat keindahan di sekelilingnya. Ia duduk di bangku yang sama tempat ia bertemu Dewi, menutup mata, dan mengambil napas dalam-dalam. Rasa syukur mulai mengisi dadanya, menyadari bahwa meski perjalanan ini sulit, ia tidak sendiri dalam menghadapinya.

Sari membuka mata dan melihat seorang gadis kecil yang sedang bermain layang-layang. Tawa anak itu, yang bebas dan tanpa beban, mengingatkannya pada kepolosan dan kemurnian yang sering terlupakan oleh orang dewasa. Sari tersenyum, merasa terhubung kembali dengan bagian dari dirinya yang juga ingin merasa bebas dan bahagia.

***

Hari-hari berikutnya menjadi periode introspeksi dan transformasi bagi Sari. Ia mulai menerapkan pelajaran dari buku tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Menghadapi pekerjaan dan interaksi sosial dengan sikap baru, Sari menemukan bahwa kebahagiaan yang sejati memang harus berasal dari dalam diri sendiri, bukan dari pengakuan atau persetujuan orang lain.

Ketika berjalan ke kantor setiap pagi, Sari kini meluangkan waktu untuk mengamati lingkungan sekitarnya---warna-warni bunga yang mekar, senyum tukang sapu jalan, dan kehangatan matahari pagi. Segala hal kecil yang dulunya terabaikan, kini menjadi sumber kegembiraan dan apresiasi. Sari mulai mengerti bahwa setiap hari menawarkan keajaiban sendiri, jika ia memilih untuk melihatnya.

Ketekunan dalam mengeksplorasi kedalaman diri juga membawa Sari ke hobi baru: melukis. Setiap pukul, ia menghabiskan waktu di depan kanvas, melukis apa yang dia rasakan dan lihat. Proses kreatif ini tidak hanya menjadi saluran ekspresi emosi, tetapi juga meditasi yang menenangkan pikiran. Lukisan-lukisannya---penuh warna dan emosi---berbicara tentang perjalanan yang telah dijalani, tentang kesedihan yang berubah menjadi kekuatan, dan kesendirian yang berubah menjadi kepuasan.

Suatu sore, saat ia sedang asyik melukis di balkon apartemennya, tetangganya, seorang pria paruh baya yang sering melihatnya dari kejauhan, mendekat dan memuji keindahan lukisannya. Percakapan ringan mereka berkembang menjadi diskusi tentang seni dan kehidupan. Sari menemukan bahwa berbagi kisah dan pandangan dengan orang lain menambah dimensi baru pada kebahagiaannya---ia tidak hanya belajar menerima diri sendiri, tetapi juga membuka diri terhadap dunia.

Dalam perjalanannya yang penuh warna, Sari kini mengetahui bahwa kebahagiaan bukanlah tujuan akhir, melainkan serangkaian pilihan yang dibuat setiap hari. Dengan buku Dewi selalu berada di raknya, sebuah pengingat bahwa ia adalah pencipta kebahagiaan dalam hidupnya, Sari merasa siap menghadapi apa pun dengan senyum dan hati yang terbuka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun