Pak Harun menggeleng. "Sudah puluhan tahun berlalu, Supri. Banyak yang sudah pindah atau meninggal. Tapi, mungkin Ibu Minah tahu. Dia kenal semua orang di sini."
Sari, yang matahari mulai terbenam, menawarkan ide. "Mungkin kita bisa bertemu Ibu Minah besok? Sekarang kita cari tempat penginapan dulu, aku sudah ngantuk berat."
Mereka berdua tertawa kecil, merasakan lelah setelah hari yang panjang tapi juga penuh penemuan baru.
***
Keesokan harinya, Supri dan Sari menemui Ibu Minah, seorang wanita tua yang dikenal sebagai penjaga memori desa. Rumahnya, sebuah bangunan tua beratap rumbia, penuh dengan pot tanaman dan suara gemericik air dari bambu yang terpasang di halaman.
Ibu Minah, yang sedang menenun di beranda, menyambut mereka dengan senyum lebar. "Ah, anak-anak muda pencari kisah," katanya, seolah sudah menunggu kedatangan mereka.
Supri langsung to the point. "Ibu, kami mendengar dari Pak Harun bahwa Ibu mungkin tahu tentang anak yang hilang dari keluarga kami. Apakah Ibu bisa ceritakan lebih banyak?"
Ibu Minah meletakkan alat tenunnya, lalu menunjuk ke kursi bambu agar mereka duduk. "Cerita itu memang benar. Anak itu, yang bernama Fikri, adalah anak yang tidak diakui. Ibunya, Rina, adalah putri dari keluarga yang kalian cari. Ayahnya, seorang pria dari desa lain yang tidak disetujui oleh keluarga."
Sari mendengarkan dengan mata berkaca-kaca, "Lalu, apa yang terjadi pada Fikri?"
"Ia dibesarkan oleh saudara Rina yang tidak memiliki anak. Mereka mengangkatnya sebagai anak mereka sendiri, menjaga rahasia keluarganya agar tidak mempermalukan nama keluarga," lanjut Ibu Minah. "Fikri tumbuh menjadi pria baik dan kuat, tapi ia selalu tahu ada sesuatu yang tersembunyi tentang asal-usulnya."
Supri bertanya, "Apakah Fikri masih hidup, Ibu? Apakah ada cara untuk bertemu dengannya?"
"Sayangnya, Fikri telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Namun, ia meninggalkan seorang anak, yang sekarang tinggal di kota Jakarta," jawab Ibu Minah, menyodorkan selembar kertas dengan alamat di atasnya.