Sari tertawa, membuang kulit pisang ke piring. "Asal jangan ketemu hantu kakek sudah bagus. Aku bawa sambal kesukaanku ya, biar ada yang seru!"
Mereka berdua tertawa, merencanakan perjalanan yang tak hanya akan membawa mereka ke akar sejarah keluarga, tapi juga mungkin mengungkap misteri yang telah lama terpendam.
***
Setelah perjalanan panjang dengan mobil yang sesekali berhenti untuk menikmati pemandangan sawah dan gunung, Supri dan Sari tiba di desa kecil tempat kakek mereka dulu tinggal. Suasana desa yang damai dengan deretan rumah bambu dan suara anak-anak bermain di jalan tanah memberikan kesan kembali ke masa lalu.
Supri, dengan buku catatan tua di tangan, dan Sari, yang masih terus mengeluhkan sinyal ponsel yang hilang, mendatangi rumah kepala desa. Seorang pria tua dengan sarung dan peci hitam menyambut mereka dengan ramah.
"Selamat datang, Supri, Sari. Saya dengar kalian mencari kisah tentang keluarga besar kalian?" tanya Pak Harun, kepala desa, sambil menyuguhi mereka teh jahe.
"Betul, Pak. Kami mencari informasi tentang 'anak yang hilang' yang disebutkan di buku silsilah ini," kata Supri, menunjukkan buku tersebut.
Pak Harun mengangguk pelan, seraya membetulkan kacamatanya. "Ah, itu cerita lama. Banyak yang sudah lupa, tapi memang ada kisah sedih di balik itu."
Sari, yang sudah menghabiskan dua gelas teh, menimpali dengan serius, "Pak, kami hanya ingin tahu kebenarannya. Apa yang terjadi sebenarnya?"
Dengan napas panjang, Pak Harun mulai bercerita. "Adalah benar ada seorang anak yang lahir dari hubungan yang tidak direstui di desa ini. Orang tuanya, salah satunya dari keluarga kalian, terpaksa meninggalkan desa karena malu. Anak itu dibesarkan oleh keluarga lain dan identitasnya dirahasiakan."
Supri mencatat dengan saksama. "Apakah masih ada yang tahu di mana keluarga atau anak itu sekarang, Pak?"