Di tengah gundukan tanah dan reruntuhan batu bata kuno situs Trowulan, Profesor Arya Wijaya dan timnya beristirahat di bawah terik matahari. Ayu, seorang mahasiswi arkeologi yang enerjik dan selalu penuh tawa, membuka percakapan.
"Prof, ini artefaknya atau piringan DJ zaman Majapahit?" tanya Ayu, menunjuk pada benda bulat yang mereka temukan. Sebuah kompas tua dengan ornamen yang sangat detail.
Arya tersenyum, mengusap keringat di dahinya. "Kalau saja bisa diputar, mungkin kita bisa putar lagu 'Kerajaan Majapahit on the Mix'," jawabnya sambil tertawa.
Riko, seorang ahli geologi yang juga bagian dari tim, menambahkan, "Yang pasti, ini bukan cuma penunjuk arah biasa. Lihat, ada simbol-simbol yang mirip dengan peta astral."
"Mungkin ini alasan kenapa armada Majapahit bisa menjangkau Madagaskar tanpa Google Maps!" canda Ayu lagi.
Arya menjadi serius, membetulkan posisi kacamata yang tergeser. "Ini bisa jadi bukti bahwa teknologi mereka jauh lebih maju. Kita mungkin melihat bukti pertama dari penggunaan teknologi navigasi canggih di Nusantara."
"Berarti, kita mungkin bukan hanya menemukan artefak," ucap Sari, seorang ahli linguistik, "tapi juga kunci untuk memecahkan misteri sejarah maritim Nusantara."
Arya mengangguk. "Kita perlu mempelajari lebih lanjut. Riko, Ayu, besok kita coba telaah lebih dalam fungsi sebenarnya dari kompas ini. Sari, coba cari literatur atau manuskrip yang mungkin menjelaskan tentang ini."
Mereka semua kembali ke artefak, dengan mata yang bersinar penuh harapan dan rasa penasaran. Meski lelah, semangat mereka tidak pudar, didorong oleh kemungkinan penemuan besar yang bisa mengubah sejarah.
"Siapkan alat, besok kita mulai petualangan sejarah!" kata Arya, mengakhiri hari dengan semangat yang baru.