Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rasa Terpendam

22 April 2024   01:23 Diperbarui: 22 April 2024   01:46 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Farida menghampiri gerbang kampus dengan motor bebeknya, menepikan kendaraan di tepi jalan. Cahaya pagi yang cerah menyilaukan, membuatnya menyipitkan mata sebelum menatap jam tangannya. Tak lama, Gunawan muncul sambil melambaikan tangan.

"Rida, kamu kok datang lebih awal? Biasanya kan aku yang nungguin kamu," canda Gunawan sembari mengenakan helm yang Farida sodorkan.

"Dari pada kamu keburu ngambek karena aku telat," jawab Farida sambil tersenyum kecut.

Mereka berdua melaju melewati jalan-jalan yang masih lengang menuju kampus. Angin pagi berhembus lembut, membawa aroma tanah yang baru disiram. Di kampus, suasana lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa lain tampak berfoto-foto, memanfaatkan hari terakhir kuliah mereka.

Di bangku taman, Farida dan Gunawan duduk berdampingan, mengamati teman-teman mereka.

"Rida, kamu kayaknya serius banget hari ini. Ada yang berubah nggak sih?" tanya Gunawan, mencoba memancing.

"Ah, nggak ada yang berubah. Cuma... sedih aja mikirin ini hari terakhir kita bareng di sini," jawab Farida, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

"Yah, tapi kan kita masih bisa ketemu. Aku cuma pindah ke Bandung, nggak ke planet lain," sahut Gunawan sambil tertawa.

"Memang sih, tapi nanti sibuk juga kan, kamu sana aku sini..." Farida menggantungkan kata-katanya, kemudian mengalihkan pandangan ke lapangan kampus.

Gunawan menyikut lengan Farida, "Ayo, jangan murung gitu dong. Kita harusnya senang bisa selesai kuliah. Lagian, kita kan bisa tetap keep in touch."

Farida mengangguk, tapi dalam hati, dia merasa ada sesuatu yang lebih berat dari sekedar berpisah karena lulus kuliah. Sebuah perasaan yang belum sempat dia ungkapkan.

"Rida, kamu yakin nggak ada yang ingin kamu bilang?" tanya Gunawan, kali ini nada suaranya lebih serius.

Farida menghela nafas, menatap Gunawan dengan tatapan yang mendalam, "Ada sih, tapi..."

Sebelum Farida melanjutkan, tiba-tiba beberapa teman mereka datang menghampiri, membawa kamera dan riuh meminta mereka bergabung dalam foto. Farida tersenyum paksa, menyimpan kembali kata-kata yang hampir terucap.

***

Kesempatan terakhir dilewatinya. (Freepik/jcomp)
Kesempatan terakhir dilewatinya. (Freepik/jcomp)

Setelah sesi foto bersama teman-teman mereka, Gunawan menarik Farida ke kafetaria kampus yang sudah mereka anggap sebagai markas selama bertahun-tahun belajar. Meja favorit mereka di sudut kafetaria masih tersedia, dan mereka segera duduk, memesan dua gelas teh tarik---minuman wajib mereka setiap kali berkunjung.

"Sudah lama ya kita nggak ngobrol berdua kayak gini, Rida," kata Gunawan sambil menyedot teh tariknya.

"Iya, rasanya kayak ada yang hilang gitu kalau nggak ngobrol bareng kamu," Farida mengakui, tapi matanya tak berani menatap Gunawan langsung.

"Rida, kamu tuh kayaknya punya banyak banget pikiran. Kenapa sih kamu nggak pernah cerita sama aku? Aku kan teman kamu juga," tanya Gunawan, suaranya penuh kekhawatiran.

Farida mengaduk-aduk tehnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Itu... aku takut, Gun. Takut kalau aku bilang, semuanya akan berubah. Aku nggak mau kehilangan kamu sebagai teman."

Gunawan menatap kedua mata Farida, "Kamu nggak akan pernah kehilangan aku. Apapun yang kamu rasakan, kamu bisa bilang ke aku. Itu nggak akan mengubah persahabatan kita."

Farida menarik napas dalam-dalam, merasa lega tapi masih belum siap untuk mengungkapkan perasaannya. Mereka berdua lalu bercerita tentang rencana masa depan mereka, dengan Farida mendengarkan lebih banyak, sementara pikirannya masih berkecamuk.

Ketika hari semakin sore, Gunawan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. "Rida, sebelum kita pulang, aku mau kasih sesuatu buat kamu."

Farida menerima kotak tersebut dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia membukanya dan mendapati sebuah jam tangan elegan dengan ukiran nama mereka di bagian belakang.

"Aku harap setiap kali kamu lihat jam tangan ini, kamu ingat kalau aku selalu ada untuk kamu, nggak peduli seberapa jauh jarak antara kita," ujar Gunawan dengan senyuman manis.

Farida terdiam, menggenggam jam tangan itu. "Gun, ini... Terima kasih. Aku..." kata-katanya tercekat. Dia ingin mengatakan lebih banyak, tapi suasana di kafetaria yang mulai ramai dan riuh membuatnya urung.

Mereka beranjak dari kafetaria, berjalan menuju parkiran dengan hati yang berat. Farida tahu ini mungkin kesempatan terakhirnya untuk mengungkapkan apa yang selama ini terpendam, sebelum Gunawan pergi meninggalkan kota ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun