Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teh Kenangan

18 April 2024   08:53 Diperbarui: 18 April 2024   10:08 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode 1: Cahaya di Kegelapan

Di dapur yang hangat, Arik, 14 tahun, dan ayahnya, Bambang, sedang mengaduk air panas di dalam teko. Langit malam di luar jendela kelihatan mendung, sesuai dengan suasana hati yang menyelimuti rumah itu sejak kepergian ibunya, Murni.

Ayahnya mencoba mencerahkan suasana, mulai bercerita tentang masa-masa dulu ketika ibunya sering membuat teh yang sama. "Kamu tahu, Nak, ibumu itu hebat sekali membuat teh. Setiap tetesnya seolah-olah mengandung doa dan cinta. Ayah yakin, tehnya bisa membuat bunga mekar kalau dia mau," katanya sambil mencoba tersenyum.

Arik, yang baru saja selesai memasukkan teh ke dalam teko, tertawa kecil. "Bunga di taman belakang rumah mungkin langsung jadi kebun raya, Yah, kalau ibu yang siram pakai tehnya."

"Benar sekali!" sahut ayahnya, ikut tertawa. "Ibumu juga selalu bilang, 'Teh ini bisa menyembuhkan segala luka, asal diminum bersama keluarga.' Kamu ingat itu?"

Mengangguk, Arik merasakan hangatnya kenangan itu seakan-akan mengusir dinginnya malam. "Aku ingat, Yah. Setiap kali aku sedih atau kesal, ibu selalu membuatkan teh, dan tiba-tiba dunia terasa lebih baik."

Ayahnya menuangkan teh yang telah siap ke dalam dua cangkir. "Nah, sekarang coba rasakan. Apakah masih ada sugesti ibumu di sini?"

Arik mengambil cangkirnya, hembusan uap teh membawa aroma yang sangat familiar. Setelah menyesapnya, dia menatap ayahnya dengan serius. "Rasanya hampir sama, Yah. Tapi, ada yang kurang."

"Kurang apa, Nak?" tanya ayahnya, penasaran.

Arik tersenyum sambil menatap ke cangkir tehnya. "Kurang ibu di sini, duduk bersama kita."

Keduanya terdiam, menikmati kehangatan teh yang menggantikan kehangatan yang telah lama hilang. Dalam kesunyian itu, mereka tidak hanya merasakan kehilangan, tetapi juga kekuatan dari kenangan yang terus hidup dalam setiap tegukan.

Episode 2: Mie Goreng dan Kenangan

Mie goreng kenangan. (Freepik/jcomp)
Mie goreng kenangan. (Freepik/jcomp)

Setelah menikmati teh yang menghangatkan, ayahnya memutuskan untuk memasak mie goreng instan untuk makan malam. Sambil menunggu air mendidih, dia mengajak Arik berbincang untuk mengalihkan perhatian dari rasa sedih yang mendalam.

"Mie goreng, ya, Yah? Ini juga salah satu favorit ibu, kan?" tanya Arik sambil memperhatikan panci di atas kompor induksi.

Si ayah mengangguk. "Iya, Nak. Ingat waktu itu saat mati lampu? Kita bertiga duduk di lantai dengan lilin-lilin menyala, makan mie goreng yang ibumu masak dengan kompor elpiji karena tak bisa pakai kompor induksi."

Arik tertawa, mengingat kenangan itu. "Itu malam yang ajaib, Yah. Rasanya seperti petualangan, makan di lantai dengan cahaya lilin. Ibu selalu bisa membuat situasi sulit menjadi menyenangkan."

"Nah, itu dia! Itulah mengapa kita harus terus melanjutkan beberapa hal yang ibumu suka. Mie goreng, teh..." Si ayah berhenti sejenak, tersenyum penuh makna. "Mungkin nanti kamu bisa belajar membuat teh seperti ibumu."

Arik memiringkan kepalanya, menimbang-nimbang. "Mungkin aku harus, ya, Yah. Tapi rasanya akan sulit tanpa ibu di sini."

"Memang, Nak. Tapi ingat, ibumu selalu bilang, 'Setiap kesulitan akan mengajarkan kita sesuatu yang baru.' Mungkin ini saatnya kamu menemukan resep tehmu sendiri," kata si ayah, menggugah semangat putranya.

Ketika air sudah mendidih, ayahnya memasukkan mie dan bumbu ke dalam panci. "Makanan sederhana, tapi penuh kenangan. Seperti kita ini, ya, Nak. Sederhana, tapi kita punya satu sama lain dan kenangan bersama ibumu."

Arik mengamati ayahnya yang berusaha keras mempertahankan rutinitas mereka. "Iya, Yah. Mie goreng ini jadi lebih dari sekadar makan malam. Ini tentang mengingat, dan juga tentang..."

"...melanjutkan hidup, Nak," si ayah menyelesaikan kalimat putranya, memberikan porsi mie goreng kepada Arik. Keduanya duduk, menghadapi satu sama lain, menikmati makanan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tetapi juga merasa dikuatkan oleh kebersamaan malam itu.

Episode 3: Langkah Baru

Meracik teh. (Freepik/KamranAydinov)
Meracik teh. (Freepik/KamranAydinov)

Malam itu, setelah makan mie goreng, Arik dan ayahnya merasa lebih tenang. Suasana dapur yang semula dilingkupi kesedihan perlahan berganti menjadi ruang yang penuh dengan kehangatan memori dan semangat baru. Si ayah memandang Arik dengan tatapan yang mendalam dan penuh harapan.

"Nak, sudah waktunya kamu mencoba membuat teh sendiri. Apa kamu mau mencoba malam ini?" tawar ayahnya, seraya memberikan kesempatan kepada Arik untuk melangkah lebih jauh dalam mengatasi kehilangannya.

Arik menarik nafas dalam-dalam, meresapi saran ayahnya. "Baiklah, Yah. Saya coba. Mungkin dengan membuat teh, saya bisa merasa lebih dekat lagi dengan ibu."

Mereka berdua berdiri dan berjalan kembali ke dapur. Si ayah menunjukkan langkah demi langkah, mulai dari memilih teh cap Bandulan yang tepat, mengukur suhu air dengan tepat, hingga mengatur waktu perendaman teh agar rasa dan aroma teh dapat terekstraksi sempurna.

"Perhatikan, Nak. Setiap detail penting. Ibumu selalu bilang, membuat teh itu seperti meditasi. Kita harus hadir sepenuhnya," jelas ayahnya sambil mengajarkan Arik cara mengaduk teh di dalam teko.

Arik, dengan hati-hati, mengikuti setiap instruksi ayahnya. Saat dia menuangkan teh ke dalam cangkir, aroma khas teh Bandulan memenuhi ruangan, membawa semangat baru dan sebuah pengharapan. "Rasanya, aku mulai mengerti, Yah. Setiap langkah di sini membawa kenangan tentang ibu."

"Tepat sekali, Nak. Dan setiap kali kamu membuat teh, kamu akan ingat padanya dan semua yang telah dia ajarkan kepada kita," kata ayahnya, meneguk teh buatan Arik.

Mereka berdua duduk, menyesap teh dalam kesunyian yang nyaman. Arik merenung, merasa bahwa setiap tegukan teh buatannya tidak hanya membawa kembali kehangatan ibunya, tetapi juga memberinya kekuatan untuk menerima kepergiannya dengan lebih damai.

"Yah, aku rasa aku siap sekarang. Siap untuk membuat teh ini setiap malam, sebagai pengingat dan sebagai simbol bahwa ibu masih bersama kita," ujar Arik, matanya berkaca-kaca namun penuh dengan ketenangan baru.

Ayahnya tersenyum, memegang tangan Arik. "Iya, Nak. Ibu selalu bersama kita. Dan sekarang, kamu telah menemukan cara untuk terus menjaga kehadirannya di sini, bersama kita."

Malam itu, di dapur yang penuh dengan aroma teh, Arik dan ayahnya menemukan bukan hanya kenangan, tapi juga jalan baru untuk melangkah maju, bersama-sama menghadapi hari-hari yang akan datang dengan kenangan dan kehangatan yang terus hidup dalam segelas teh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun