Setelah menikmati teh yang menghangatkan, ayahnya memutuskan untuk memasak mie goreng instan untuk makan malam. Sambil menunggu air mendidih, dia mengajak Arik berbincang untuk mengalihkan perhatian dari rasa sedih yang mendalam.
"Mie goreng, ya, Yah? Ini juga salah satu favorit ibu, kan?" tanya Arik sambil memperhatikan panci di atas kompor induksi.
Si ayah mengangguk. "Iya, Nak. Ingat waktu itu saat mati lampu? Kita bertiga duduk di lantai dengan lilin-lilin menyala, makan mie goreng yang ibumu masak dengan kompor elpiji karena tak bisa pakai kompor induksi."
Arik tertawa, mengingat kenangan itu. "Itu malam yang ajaib, Yah. Rasanya seperti petualangan, makan di lantai dengan cahaya lilin. Ibu selalu bisa membuat situasi sulit menjadi menyenangkan."
"Nah, itu dia! Itulah mengapa kita harus terus melanjutkan beberapa hal yang ibumu suka. Mie goreng, teh..." Si ayah berhenti sejenak, tersenyum penuh makna. "Mungkin nanti kamu bisa belajar membuat teh seperti ibumu."
Arik memiringkan kepalanya, menimbang-nimbang. "Mungkin aku harus, ya, Yah. Tapi rasanya akan sulit tanpa ibu di sini."
"Memang, Nak. Tapi ingat, ibumu selalu bilang, 'Setiap kesulitan akan mengajarkan kita sesuatu yang baru.' Mungkin ini saatnya kamu menemukan resep tehmu sendiri," kata si ayah, menggugah semangat putranya.
Ketika air sudah mendidih, ayahnya memasukkan mie dan bumbu ke dalam panci. "Makanan sederhana, tapi penuh kenangan. Seperti kita ini, ya, Nak. Sederhana, tapi kita punya satu sama lain dan kenangan bersama ibumu."
Arik mengamati ayahnya yang berusaha keras mempertahankan rutinitas mereka. "Iya, Yah. Mie goreng ini jadi lebih dari sekadar makan malam. Ini tentang mengingat, dan juga tentang..."
"...melanjutkan hidup, Nak," si ayah menyelesaikan kalimat putranya, memberikan porsi mie goreng kepada Arik. Keduanya duduk, menghadapi satu sama lain, menikmati makanan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tetapi juga merasa dikuatkan oleh kebersamaan malam itu.