Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teh Kenangan

18 April 2024   08:53 Diperbarui: 18 April 2024   10:08 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dua cangkir teh kenangan. (Freepik/azerbaijan_stockers)

Episode 1: Cahaya di Kegelapan

Di dapur yang hangat, Arik, 14 tahun, dan ayahnya, Bambang, sedang mengaduk air panas di dalam teko. Langit malam di luar jendela kelihatan mendung, sesuai dengan suasana hati yang menyelimuti rumah itu sejak kepergian ibunya, Murni.

Ayahnya mencoba mencerahkan suasana, mulai bercerita tentang masa-masa dulu ketika ibunya sering membuat teh yang sama. "Kamu tahu, Nak, ibumu itu hebat sekali membuat teh. Setiap tetesnya seolah-olah mengandung doa dan cinta. Ayah yakin, tehnya bisa membuat bunga mekar kalau dia mau," katanya sambil mencoba tersenyum.

Arik, yang baru saja selesai memasukkan teh ke dalam teko, tertawa kecil. "Bunga di taman belakang rumah mungkin langsung jadi kebun raya, Yah, kalau ibu yang siram pakai tehnya."

"Benar sekali!" sahut ayahnya, ikut tertawa. "Ibumu juga selalu bilang, 'Teh ini bisa menyembuhkan segala luka, asal diminum bersama keluarga.' Kamu ingat itu?"

Mengangguk, Arik merasakan hangatnya kenangan itu seakan-akan mengusir dinginnya malam. "Aku ingat, Yah. Setiap kali aku sedih atau kesal, ibu selalu membuatkan teh, dan tiba-tiba dunia terasa lebih baik."

Ayahnya menuangkan teh yang telah siap ke dalam dua cangkir. "Nah, sekarang coba rasakan. Apakah masih ada sugesti ibumu di sini?"

Arik mengambil cangkirnya, hembusan uap teh membawa aroma yang sangat familiar. Setelah menyesapnya, dia menatap ayahnya dengan serius. "Rasanya hampir sama, Yah. Tapi, ada yang kurang."

"Kurang apa, Nak?" tanya ayahnya, penasaran.

Arik tersenyum sambil menatap ke cangkir tehnya. "Kurang ibu di sini, duduk bersama kita."

Keduanya terdiam, menikmati kehangatan teh yang menggantikan kehangatan yang telah lama hilang. Dalam kesunyian itu, mereka tidak hanya merasakan kehilangan, tetapi juga kekuatan dari kenangan yang terus hidup dalam setiap tegukan.

Episode 2: Mie Goreng dan Kenangan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun