Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tim Adalah Keluarga

17 April 2024   07:15 Diperbarui: 17 April 2024   07:19 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayah dan anak bermain bola. (Freepik.com)

Episode 1: Panggilan Kemenangan

Hari itu, udara sore hari di Sidoarjo terasa lebih segar dari biasanya, mungkin karena angin yang bertiup semilir membawa kabar baik. Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, Dana, seorang remaja berumur 16 tahun, duduk di tepi ranjangnya, memegang telepon genggam dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia baru saja menerima kabar bahwa ia terpilih menjadi anggota klub sepak bola "Sayap Mas".

Segera, ia menekan nomor ayahnya, Fikri, yang sedang bekerja di sebuah bengkel di dekat rumah. Telepon diangkat setelah beberapa nada.

"Assalamualaikum, Pa! Saya punya kabar gembira nih!" seru Dana dengan suara yang tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

"Waalaikumsalam, Dana! Apa kabarnya? Suara kamu ceria sekali, pasti ada berita baik, ya?" Fikri tertawa kecil, mendengar semangat yang meluap dari suara anaknya.

"Benar, Pa! Dana diterima jadi anggota tim sepak bola 'Sayap Mas'. Latihan dan dedikasi Dana selama ini berbuah hasil, Pa!" Dana hampir tidak bisa menahan emosinya.

Fikri terdiam sejenak, mengumpulkan kata-kata. "Masya Allah, terima kasih ya Allah. Saya sangat bangga dengan kamu, Nak. Ini impian kita, bukan?" suaranya bergetar sedikit, terbawa emosi yang sama.

"Betul, Pa! Dana ingat, waktu kecil Papa sering cerita tentang hari-hari Papa main bola sebelum kecelakaan itu. Dana mau jadi seperti Papa, bahkan lebih baik lagi!" Dana terdengar bersemangat.

Fikri tertawa, "Haha, itu sih harus! Tapi ingat, sepak bola itu bukan cuma tentang mencetak gol, tapi juga tentang kerja sama tim. Kamu siap?"

"Siap, Pa! Dana akan berlatih lebih keras lagi. Dana ingin buat Papa bangga!" ujar Dana tegas.

"Bangga? Saya sudah bangga sekarang, Dana. Tapi ya, tunjukkan di lapangan bahwa kamu bisa lebih dari sekadar pemain, jadi pemimpin juga di sana," nasihat Fikri, mengingatkan akan pentingnya kerja sama.

"Insya Allah, Pa. Dana akan ingat selalu nasihat Papa. Oh ya, nanti malam jangan lupa pulang cepat. Dana masak nasi goreng spesial buat merayakan!" canda Dana, mengalihkan pembicaraan.

"Nasi goreng, ya? Wah, jangan sampai gosong seperti terakhir kali ya," Fikri tertawa, mengingatkan kejadian lucu saat Dana belajar masak.

"Siap, Komandan!" Dana tertawa lepas, menutup pembicaraan dengan perasaan yang hangat mengisi dadanya.

Mereka berdua menutup telepon dengan senyum di wajah, sebuah senyum yang membawa harapan dan mimpi yang baru saja terlahir dari sebuah telepon sederhana.

Episode 2: Pelajaran di Lapangan

Tim adalah keluarga. (Freepik.com)
Tim adalah keluarga. (Freepik.com)

Hari besar telah tiba bagi Dana. Stadion lokal yang biasanya sepi, hari itu dipenuhi dengan sorak-sorai penggemar klub "Sayap Mas". Warna-warni bendera dan yel-yel pendukung menggema di sepanjang tribun. Di tribun khusus, Fikri duduk bersama beberapa orang tua lainnya, semua mata tertuju pada lapangan hijau di mana anak-anak mereka akan berjuang.

Dana merasakan degup jantungnya meningkat saat ia dan timnya berjalan memasuki lapangan. Sambil menatap ke arah tribun, ia melihat ayahnya melambaikan tangan. Dengan semangat, ia membalas lambaian tersebut dan memfokuskan diri pada permainan.

Saat peluit pertandingan dibunyikan, Dana langsung menunjukkan keahliannya. Ia beberapa kali melewati lawan dengan dribbling yang lincah. Namun, semakin lama, ia mulai terlalu fokus untuk mencetak gol sendiri, seringkali mengabaikan rekan-rekannya yang berada di posisi yang lebih baik.

Pada akhir babak pertama, "Sayap Mas" tertinggal dua gol. Saat jeda, ketegangan terasa di ruang ganti. Pelatih memberikan beberapa instruksi taktis, namun Dana merasa seolah semua mata tertuju padanya, menyalahkannya atas ketertinggalan skor.

Fikri melihat ini dari kejauhan dan merasakan kesalahan yang sama yang sering ia lakukan di masa mudanya. Saat tim kembali ke lapangan, ia menghampiri pelatih sejenak. Mereka berbicara, dan pelatih mengangguk mengerti sebelum kembali ke bangku cadangan.

Di babak kedua, Dana mendapatkan bola lagi. Sebelum ia memulai aksinya, pelatih bersiul kecil dan mengisyaratkan kepadanya untuk melihat sekeliling. Dana menarik napas, melihat ke kanan dan kiri, dan melihat seorang rekan setimnya, Bima, yang berlari bebas menuju gawang lawan.

Dengan nafas yang tertahan, Dana mengoper bola dengan sempurna ke arah Bima, yang dengan mudah menyelesaikan dengan sebuah tendangan keras ke sudut gawang. Gol! Skor menjadi 1-2, dan sorak sorai memenuhi stadion.

Fikri bertepuk tangan keras, tersenyum bangga. Setelah pertandingan, di mana "Sayap Mas" akhirnya kalah 2-3, Fikri menemui Dana di luar ruang ganti.

"Kamu tahu, Nak, kalah dan menang itu hal biasa. Tapi hari ini kamu menunjukkan sesuatu yang lebih penting dari menang," kata Fikri, menepuk bahu Dana.

"Apa itu, Pa?" Dana melihat ke arah ayahnya dengan rasa ingin tahu.

"Kamu belajar tentang pentingnya tim. Satu oper yang kamu berikan itu lebih berharga daripada sepuluh gol yang kamu cetak sendiri. Percayalah, itu akan membawa kita lebih jauh," Fikri tersenyum, memberikan pelajaran yang tidak hanya tentang sepak bola, tetapi juga tentang kehidupan.

Dana mengangguk, memahami bahwa ini bukan hanya tentang sepak bola, tetapi juga tentang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri.

Episode 3: Kemenangan Sejati

Kemenangan sejati itu hasil kerjasama tim. (Freepik.com)
Kemenangan sejati itu hasil kerjasama tim. (Freepik.com)

Minggu berikutnya, atmosfer di lapangan sepakbola "Sayap Mas" terasa berbeda. Cahaya matahari menembus awan, seolah-olah memberikan tanda bahwa hari baru telah membawa semangat baru. Dana merasakan perubahan dalam dirinya, sebuah resolusi yang telah dibentuk dari pelajaran minggu lalu.

Di tribun, Fikri duduk bersama beberapa teman, semua dengan harapan yang tinggi. Mereka membawa spanduk baru dengan tulisan, "Tim adalah keluarga". Dana melihatnya dari lapangan, tersenyum, dan mengangguk kepada ayahnya, seolah-olah berterima kasih atas dukungan dan pelajaran berharga itu.

Peluit dibunyikan, dan pertandingan dimulai dengan intensitas tinggi. Kali ini, Dana tidak hanya bermain sebagai pemain; ia bermain sebagai anggota tim yang sebenarnya. Ia bergerak dengan kecerdasan, selalu mencari posisi terbaik untuk dirinya dan rekan setimnya. Komunikasi antar pemain terlihat jelas, seruan dan isyarat dipertukarkan dengan lancar.

Dana mendapatkan bola di tengah lapangan, menggiringnya sejenak, dan kemudian, dengan pandangan yang tajam, ia melihat rekan setimnya, Adi, berlari ke ruang terbuka. Dengan umpan silang yang sempurna, Dana memberikan bola kepada Adi yang tanpa ragu melesakkan bola ke gawang lawan. Gol! Kerumunan bersorak, dan "Sayap Mas" memimpin pertandingan.

Energi Dana dan kepercayaan pada timnya memicu lebih banyak aksi timbal balik. Mereka mendominasi pertandingan, dan akhirnya menutup dengan kemenangan 3-1. Kemenangan ini tidak hanya tentang skor, tetapi tentang perubahan yang terjadi dalam cara bermain mereka sebagai sebuah tim.

Setelah pertandingan, Fikri bertemu dengan Dana di lapangan. Mereka berpelukan erat, sebuah momen emosional yang penuh dengan kebanggaan.

"Dana, hari ini kamu tidak hanya pemain terbaik di lapangan, tapi kamu adalah pemimpin terbaik untuk timmu. Papa sangat bangga melihat bagaimana kamu bermain untuk semua, bukan hanya untuk diri sendiri," ucap Fikri, matanya berbinar.

"Terima kasih, Pa. Tanpa nasihat Papa, Dana tidak akan bisa merasakan betapa pentingnya setiap orang di tim ini. Ini bukan kemenangan Dana, ini kemenangan kita semua," Dana membalas, senyumnya merefleksikan kedewasaan baru yang ia rasakan.

Fikri mengangguk, "Itulah kemenangan sejati, Nak. Ingat ini, dalam sepak bola dan dalam hidup, kita lebih kuat bersama."

Mereka berjalan bersama keluar dari lapangan, tidak hanya sebagai ayah dan anak, tetapi sebagai rekan dalam perjalanan yang sama, menghargai setiap momen kemenangan dan pelajaran yang datang bersamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun