Ia menuntut suatu pemahaman mendalam tentang dinamika internal dan eksternal yang memengaruhi organisasi, serta kemampuan untuk mengintegrasikan ini ke dalam strategi yang fleksibel dan responsif.
Dalam konteks perusahaan, ini berarti membangun struktur dan proses yang mendukung inovasi dan adaptasi.Â
Misalnya, perusahaan yang agile cenderung memiliki budaya yang mendorong eksperimen dan pembelajaran berkelanjutan, serta sistem pengambilan keputusan yang desentralisasi yang memungkinkan respon cepat terhadap perubahan.Â
Ini juga melibatkan investasi dalam teknologi dan sistem informasi yang memfasilitasi aliran informasi yang lancar dan memungkinkan analisis data yang cepat untuk mendukung pengambilan keputusan yang berbasis bukti.
Selain itu, artikel tersebut menyoroti pentingnya memahami bahwa agility bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai keberlanjutan dan keunggulan kompetitif.Â
Dengan demikian, perusahaan perlu mengidentifikasi dimensi kunci agility yang paling relevan dengan konteks spesifik mereka dan mengembangkan strategi yang sesuai untuk memperkuat kapasitas ini.
Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan, memanfaatkan peluang baru, dan mengatasi tantangan secara efektif merupakan ciri khas organisasi yang agile.Â
Ini tidak hanya melibatkan perubahan pada tingkat operasional tetapi juga membutuhkan pergeseran "mindset" pada semua tingkatan organisasi.Â
Dengan demikian, OA menjadi sebuah perjalanan yang memerlukan komitmen jangka panjang dari pemimpin dan anggota tim, serta keberanian untuk mengeksplorasi, gagal, dan belajar dari kesalahan.
Analisis artikel ini menunjukkan bahwa untuk benar-benar memanfaatkan agility, organisasi harus menanamkan prinsip-prinsip ini ke dalam DNA mereka.Â
Ini berarti tidak hanya mengadopsi teknologi atau metodologi baru tetapi juga membangun ekosistem yang mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan inovasi.Â