Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filosofi "Ora Obah Ora Mamah"

25 Januari 2024   00:18 Diperbarui: 25 Januari 2024   00:18 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penjual mainan tradisional. (KOMPAS.com/Teuku Muh Guci S)

Malam itu, tampak lima orang sedang menikmati kuliner, makanan tradisional di pinggir jalan. Suami, istri dan tiga anaknya.

Sementara itu di depan mereka, seorang bapak tua, berpakaian lusuh, bersepeda usang mencoba menawarkan mainan tradisional kepada orang-orang yang lalu lalang. Berharap ada yang membeli.

Suami istri itu duduk tepat menghadap bapak penjual mainan tradisional. Mereka berbisik satu sama lain.

"Pa, kita ajak bapak itu makan bersama kita ya, mama agak susah menelan makanan ini karena lihat bapak itu"

"Ya Ma, tapi biarkan dia berjualan aja dulu, mungkin nanti ada yang beli. Mungkin juga dia menolak makan bersama kita. Sebaiknya kita pesankan aja."

"Kita sedekah uang aja Pa, mungkin lebih bermanfaat bagi dia dan keluarga"

"Oke, terserah Mama. Papa kira itu baik"

Selesai makan dan bergegas pulang, si suami menghampiri bapak penjual mainan tradisional.

"Pak, sampun payu pinten?" (Pak, sudah laku berapa?)

"Dereng wonten blas" (Belum ada sama sekali)

"Bapak kok tasik sadean ngeten niki, lare-lare saniki dolenane niku hape" (Bapak kok masih jualan seperti ini, anak-anak sekarang ini bermain HP)

"Sagete kulo nggih ngeten niki. Ora obah ora mamah" (Bisanya saya ya seperti ini, tidak gerak tidak makan)

Si istri kemudian menyodorkan selembar uang ke bapak penjual mainan tradisional itu.

"Niki Pak, jenengan ndamel tumbas, nedha ten mriki mawon" (Ini pak, anda gunakan beli, makan di sini saja)

"Mpun mboten usah Bu" (Sudahlah, tidak usah Bu)

Si istri tetap memaksa.

"Nggih pun, maturnuwun, mugi-mugi barokah Bu" (Ya sudah, terima kasih, semoga berkah Bu)

"Aamiin..."

***

Sementara itu, tentu banyak kita jumpai warung-warung makan atau minum modern di berbagai mal, plasa atau lainnya, berjubel pembeli hingga antri berpuluh meter panjangnya. 

Apalagi "warung makan atau minum" itu dimiliki perusahaan asing (dunia). Harga secangkir kopi Sumatera di warung kopi "SB" saja segelas lebih dari lima puluh ribu.

Di lain waktu, terbaca berita "Disawer Jamaah Laki-Laki Saat Mengaji, Ustadzah Nadia Hawasyi: Tidak Pantas!"

Media lain memberitakan "Korupsi Bantuan Sosial (Bansos): Pencurian Hak Masyarakat di Era Pandemi Covid-19"

Itulah dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun