"Bapak kok tasik sadean ngeten niki, lare-lare saniki dolenane niku hape" (Bapak kok masih jualan seperti ini, anak-anak sekarang ini bermain HP)
"Sagete kulo nggih ngeten niki. Ora obah ora mamah" (Bisanya saya ya seperti ini, tidak gerak tidak makan)
Si istri kemudian menyodorkan selembar uang ke bapak penjual mainan tradisional itu.
"Niki Pak, jenengan ndamel tumbas, nedha ten mriki mawon"Â (Ini pak, anda gunakan beli, makan di sini saja)
"Mpun mboten usah Bu" (Sudahlah, tidak usah Bu)
Si istri tetap memaksa.
"Nggih pun, maturnuwun, mugi-mugi barokah Bu" (Ya sudah, terima kasih, semoga berkah Bu)
"Aamiin..."
***
Sementara itu, tentu banyak kita jumpai warung-warung makan atau minum modern di berbagai mal, plasa atau lainnya, berjubel pembeli hingga antri berpuluh meter panjangnya.Â
Apalagi "warung makan atau minum" itu dimiliki perusahaan asing (dunia). Harga secangkir kopi Sumatera di warung kopi "SB" saja segelas lebih dari lima puluh ribu.