Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Membentuk Budaya Keberanian Bicara dan Tindakan di Tempat Kerja

12 Januari 2024   10:50 Diperbarui: 12 Januari 2024   10:56 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berani menegur teman kerja atau atasan. (Sumber gambar: Freepik/master1305)

Pengantar

Pentingnya berbicara menghadapi perilaku buruk menjadi semakin relevan di pergaulan global terutama di tempat kerja, terlebih dalam konteks sosial dan budaya di negara yang berbeda. Artikel "Six Tips for Speaking Up Against Bad Behavior (2020)", berdasarkan tulisan Catherine A. Sanderson di Greater Good Magazine, menawarkan panduan universal yang berguna.

Namun, ketika diterapkan di Indonesia, sebuah negara dengan kekayaan budaya dan norma sosial yang unik, tips ini memerlukan adaptasi khusus. 

Artikel ini bertujuan untuk menjelajahi dan menyesuaikan tips tersebut agar relevan dan efektif dalam lingkungan Indonesia, dengan fokus pada strategi komunikasi yang sensitif terhadap budaya, pembangunan dukungan komunitas, dan penguatan keberanian individu.

Menghadapi Perilaku Buruk

Artikel tersebut membahas tantangan universal menghadapi perilaku buruk dalam konteks sosial dan profesional. Di Indonesia, sebuah negara dengan budaya yang kaya dan kompleks, tantangan ini bisa lebih berlapis karena norma-norma sosial dan hierarki yang ada. Mari kita uraikan konsep-konsep utama disesuaikan dengan norma dan budaya di Indonesia.

1. Ketakutan akan Konsekuensi

Dalam budaya kerja Indonesia, seperti halnya di banyak tempat lain, ketakutan akan konsekuensi adalah faktor utama yang mencegah orang berbicara. Misalnya, ketakutan kehilangan pekerjaan atau merusak hubungan dengan atasan dapat membuat karyawan enggan menegur perilaku atasan yang tidak etis. Ini mungkin lebih terjadi di Indonesia, di mana budaya hierarki dan hormat terhadap otoritas lebih menonjol.

2. Ambiguitas dalam Perilaku

Ambiguitas dalam menilai perilaku sebagai buruk atau tidak dapat membingungkan. Di Indonesia, hal ini bisa lebih rumit karena adanya perbedaan budaya dan bahasa. Sebuah komentar yang mungkin dianggap sebagai lelucon di satu budaya mungkin dianggap ofensif di budaya lain. Oleh karena itu, penting untuk memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang konteks sosial dan budaya sebelum bereaksi.

3. Pentingnya Konteks Sosial

Dalam masyarakat Indonesia yang menekankan pada keharmonisan sosial, menegur seseorang secara terbuka bisa dianggap tidak sopan atau konfrontatif. Ini bisa membuat orang lebih memilih untuk diam daripada menghadapi perilaku yang bermasalah. Namun, ini juga berarti bahwa tindakan individu bisa memiliki dampak yang lebih besar jika dilakukan dengan cara yang sensitif dan tepat.

4. Efek Penonton

Fenomena 'efek penonton', di mana individu kurang cenderung untuk mengambil tindakan ketika ada orang lain yang juga menyaksikan, mungkin juga relevan di Indonesia. Dalam konteks sosial yang erat, di mana orang sering takut akan penghakiman sosial, ini bisa menjadi penghalang tambahan untuk mengambil tindakan.

Strategi Menghadapi Perilaku Buruk

Melanjutkan diskusi tentang bagaimana menghadapi perilaku buruk, kita akan mengeksplorasi bagaimana enam tips dari artikel asli dapat diadaptasi dan diterapkan dalam konteks sosial dan profesional Indonesia. Pendekatan ini harus mempertimbangkan norma-norma budaya dan hierarki sosial yang berlaku.

1. Menyatakan Keprihatinan dengan Cara yang Taktis

Di Indonesia, mengungkapkan ketidaksetujuan atau keprihatinan perlu dilakukan dengan cara yang halus dan tidak langsung, untuk menghindari 'menyudutkan' orang lain. Misalnya, daripada langsung mengkritik, bisa dengan mengajukan pertanyaan yang membuka diskusi atau menyampaikan pendapat sebagai sebuah saran. Pendekatan ini menghormati norma keharmonisan dan menghindari konfrontasi langsung.

2. Menggunakan Humor dan Sindiran dengan Hati-Hati

Humor dan sindiran bisa menjadi alat yang efektif dalam menghadapi komentar atau perilaku yang tidak pantas, tapi ini harus dilakukan dengan hati-hati di Indonesia. Penting untuk memastikan bahwa humor tidak tersesat menjadi ejekan atau menghina, yang bisa kontraproduktif dalam budaya yang menghargai kesopanan dan keharmonisan.

3. Menunjukkan Koneksi Pribadi dan Empati

Dalam masyarakat yang mementingkan hubungan interpersonal, menunjukkan empati dan koneksi pribadi bisa menjadi cara yang efektif untuk mengungkapkan ketidaksetujuan. Misalnya, mengungkapkan bagaimana perilaku atau komentar tertentu memengaruhi Anda secara pribadi atau orang-orang yang Anda kenal, bisa membantu membuat orang lain lebih sadar dan responsif terhadap dampak perilaku mereka.

4. Berlatih Respons yang Beragam

Menghadapi perilaku buruk memerlukan keberanian dan ketangkasan dalam berkomunikasi. Di Indonesia, latihan berperan (role-play) dalam situasi yang beragam bisa membantu mempersiapkan individu untuk merespons dengan cara yang tepat dan efektif. Latihan ini dapat membantu membangun kepercayaan diri dan kemampuan untuk menangani situasi sulit dengan lebih baik.

5. Membangun Jaringan Dukungan

Mencari teman atau rekan kerja yang berbagi keprihatinan yang sama sangat penting. Dalam budaya kerja Indonesia, mendapatkan dukungan dari rekan sejawat bisa memberikan kekuatan tambahan dan validasi saat menghadapi perilaku buruk. Dukungan kelompok ini bisa memberikan keberanian dan kekuatan tambahan.

6. Mengembangkan Empati dan Memahami Perspektif Orang Lain

Mengembangkan empati dan memahami perspektif orang lain sangat penting dalam budaya Indonesia, yang sering menekankan pada pengertian dan toleransi. Melatih diri untuk melihat situasi dari berbagai sudut pandang dapat membantu dalam menanggapi perilaku buruk dengan cara yang lebih efektif dan sensitif.

Membentuk Budaya Keberanian dan Tindakan

Mengakhiri pembahasan kita tentang menghadapi perilaku buruk, kita akan membahas bagaimana membentuk budaya keberanian dan tindakan di Indonesia. Ini melibatkan menciptakan lingkungan di mana orang merasa didukung dan berani untuk berbicara. Fokus kita adalah pada implementasi praktis dari konsep-konsep yang telah dibahas sebelumnya, dengan menyesuaikannya dengan konteks sosial dan budaya Indonesia.

1. Menanamkan Norma Sosial Baru

Untuk mengubah budaya keheningan menjadi budaya tindakan, perlu adanya usaha bersama dalam menanamkan norma sosial baru. Di Indonesia, ini bisa dimulai dari tingkat organisasi atau komunitas. Pendidikan dan pelatihan tentang pentingnya berbicara dan menghadapi perilaku buruk dapat membantu mengubah persepsi dan sikap. Ini termasuk menyediakan platform untuk diskusi terbuka dan mempromosikan kebijakan yang mendukung keberanian sipil.

2. Membangun Lingkungan yang Mendukung

Menciptakan lingkungan yang mendukung di tempat kerja atau dalam komunitas sangat penting. Di Indonesia, ini mungkin berarti memastikan bahwa ada saluran komunikasi yang jelas dan aman untuk melaporkan perilaku buruk tanpa takut akan pembalasan. Ini juga melibatkan mempromosikan keragaman dan inklusi, sehingga setiap suara dihargai dan didengarkan.

3. Memperkuat Keberanian Individual

Di Indonesia, menghargai dan memperkuat keberanian individual sangat penting. Ini bisa dilakukan melalui pengakuan dan pujian untuk mereka yang berani berbicara. Cerita dan contoh dari individu yang telah berhasil menghadapi perilaku buruk dapat menginspirasi dan mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.

4. Memanfaatkan Kekuatan Media Sosial dan Komunikasi

Media sosial dan platform komunikasi memiliki peran besar dalam membentuk opini dan norma sosial di Indonesia. Kampanye kesadaran dan pendidikan melalui media sosial dapat membantu menyebarkan pesan tentang pentingnya berbicara. Ini juga bisa menjadi alat untuk menggalang dukungan dan membangun komunitas yang berkomitmen terhadap perubahan positif.

5. Kolaborasi antara Sektor Publik dan Swasta

Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan organisasi non-pemerintah dapat memperkuat upaya untuk mengubah norma sosial di Indonesia. Program-program yang disponsori oleh berbagai sektor ini bisa mencakup pelatihan, seminar, dan kampanye kesadaran untuk mengajarkan pentingnya bersuara dan menghadapi perilaku buruk.

Kesimpulan

Menghadapi perilaku buruk adalah tantangan global yang membutuhkan pendekatan lokal. Di Indonesia, mengadaptasi strategi ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial dan budaya. 

Melalui pendekatan yang halus, penggunaan humor dan empati yang bijaksana, serta membangun jaringan dukungan, kita dapat mendorong perubahan perilaku yang positif. 

Dengan meningkatkan kesadaran, memperkuat keberanian individu, dan menggunakan media sosial untuk advokasi, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan inklusif. 

Kolaborasi antar sektor juga penting untuk memperkuat inisiatif ini. Dengan upaya kolektif, kita dapat bergerak menuju budaya keberanian dan tindakan, menggantikan keheningan dan ketidaktindakan, memastikan bahwa setiap suara didengar dan dihargai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun