Di satu sisi, ada yang menganggap bahwa dalam konteks keluarga atau internal partai, penggunaan bahasa semacam ini mungkin diterima.
Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa ucapan tersebut bisa menurunkan standar diskusi politik dan memberikan contoh yang buruk bagi masyarakat, terutama mengingat peran Prabowo sebagai figur publik dan calon presiden.
Dari perspektif "slip of the tongue" (keseleo lidah), ucapan Prabowo mungkin bisa dilihat sebagai kesalahan spontan yang tidak direncanakan.Â
Meskipun demikian, dalam konteks politik, bahkan kesalahan spontan bisa diinterpretasikan sebagai refleksi sikap atau pemikiran yang lebih dalam.Â
Ini menimbulkan pertanyaan: apakah ucapan tersebut benar-benar kesalahan tak sengaja, atau apakah itu refleksi dari strategi komunikasi yang lebih luas?
Dampak Sosial dan Politik
Ucapan "ndasmu etik" oleh Prabowo memiliki implikasi yang lebih luas dalam konteks sosial dan politik Indonesia.Â
Meskipun beberapa masyarakat mungkin memandangnya sebagai humor atau candaan, ucapan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang standar yang kita terapkan pada pemimpin politik dan cara mereka berkomunikasi.Â
Dalam era media sosial, di mana setiap ucapan dapat menjadi viral dan dianalisis secara mendalam, para politisi harus lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata mereka.
Sementara itu, dalam konteks politik, dinamika antara senioritas dan kesantunan menjadi pertimbangan penting.Â
Dalam tradisi Jawa, yang menghargai hormat dan kehalusan bahasa, ucapan semacam ini bisa diinterpretasikan berbeda tergantung pada siapa yang mengatakannya dan kepada siapa.Â
Namun, sebagai calon presiden, Prabowo tidak hanya berbicara kepada partainya sendiri, tetapi kepada seluruh masyarakat Indonesia.Â