Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bagaimana Meja dan Kursi Mengajarkan Kita tentang Harmonisasi Kehidupan?

6 Desember 2023   06:30 Diperbarui: 6 Desember 2023   06:34 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tulisan ini terinspirasi dari resepsionis di sebuah hotel di Jakarta, berdiri tanpa kursi. (Foto: Dokumen pribadi).

Meja, Kursi, dan Dinamika Kehidupan

Dalam keseharian kita, sering kali kita menemui pasangan benda yang tampaknya tak terpisahkan: meja dan kursi. 

Sebuah analogi sederhana, namun jika dipandang dari lensa filsafat, ia membuka jendela pemikiran yang luas mengenai dua sifat manusia, perfeksionisme dan fungsionalisme, serta bagaimana keduanya saling berinteraksi dalam kehidupan.

Seorang perfeksionis melihat meja dan kursi sebagai pasangan yang tak terpisahkan, serasi, saling melengkapi. Mereka menghargai keindahan dan ketertiban yang ditawarkan oleh keduanya, sebuah simbiosis estetika dan fungsi. 

Bagi perfeksionis, ketidaksesuaian antara meja dan kursi bukan hanya masalah praktis, melainkan sebuah pelanggaran terhadap harmoni dan kesempurnaan yang mereka dambakan. 

Dalam konteks kehidupan, perfeksionis cenderung mencari keseimbangan dan keserasian yang sempurna, baik dalam pekerjaan, hubungan, maupun aspirasi pribadi mereka.

Di sisi lain, fungsionalis mengambil pendekatan yang lebih pragmatis. Bagi mereka, nilai utama terletak pada kegunaan dan efisiensi. 

Sebuah kursi tanpa meja, atau sebaliknya, bukanlah suatu masalah besar selama fungsinya tetap terpenuhi. Fungsionalis tidak terlalu terikat pada ide keserasian visual atau estetika, melainkan lebih fokus pada praktikalitas dan efektivitas. 

Dalam kehidupan, pendekatan fungsionalis terhadap situasi seringkali lebih fleksibel dan adaptif, menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari realitas.

Interaksi antara perfeksionisme dan fungsionalisme mencerminkan dualitas dalam banyak aspek kehidupan kita. Dalam sebuah hubungan, misalnya, seringkali kita menemukan satu pihak yang cenderung perfeksionis, sementara yang lain lebih fungsionalis. 

Hubungan semacam ini bisa menjadi sumber konflik, namun juga kesempatan untuk pertumbuhan dan pemahaman yang lebih dalam, di mana kedua pihak belajar untuk menghargai dan memahami perspektif yang berbeda.

Dilema Rumah Tangga

Memasuki ranah rumah tangga, dinamika antara perfeksionisme dan fungsionalisme menjadi lebih kompleks dan menarik. Rumah tangga, sebagai mikrokosmos dari masyarakat, menjadi arena di mana kedua sifat ini seringkali saling beradu dan berusaha menemukan titik temu.

Bayangkan sebuah skenario di mana satu pasangan cenderung perfeksionis, mencari kesempurnaan dalam setiap detail rumah, dari susunan perabot hingga jadwal kegiatan sehari-hari, sementara pasangannya bersikap fungsionalis, mengutamakan kenyamanan dan kepraktisan daripada estetika atau ketertiban. 

Di sini, potensi konflik muncul dari perbedaan pendekatan terhadap kehidupan sehari-hari. Namun, ini juga menjadi kesempatan untuk saling belajar dan menyesuaikan. Perfeksionis dapat belajar tentang fleksibilitas dan adaptasi, sementara fungsionalis dapat menghargai keindahan dari ketertiban dan perencanaan.

Lebih jauh, hubungan seperti ini dapat menjadi contoh bagaimana dua pendekatan berbeda dapat menciptakan harmoni yang unik. Dalam filosofi Timur, ini mengingatkan pada konsep Yin dan Yang, di mana dua kekuatan yang berlawanan menjadi pelengkap satu sama lain, menciptakan keseimbangan. 

Dalam konteks ini, perfeksionisme dan fungsionalisme bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan dua sisi dari satu koin yang sama, di mana keduanya diperlukan untuk menciptakan keselarasan dalam kehidupan.

Kemungkinan lain yang menarik adalah bagaimana kedua sifat ini berkolaborasi dalam menghadapi tantangan. 

Sebagai contoh, dalam mengatur keuangan rumah tangga, pendekatan perfeksionis dapat memastikan bahwa segala sesuatunya terencana dengan baik dan terorganisir, sementara pendekatan fungsionalis memastikan bahwa rencana tersebut realistis dan dapat diadaptasi dengan kondisi yang berubah.

Perfeksionisme, Fungsionalisme, dan Refleksi Politik

Mengaitkan analogi meja dan kursi ini ke ranah yang lebih luas seperti politik, kita memasuki wilayah yang lebih abstrak namun sama pentingnya. 

Dalam konteks politik, perfeksionisme dan fungsionalisme dapat diinterpretasikan sebagai dua pendekatan berbeda dalam mengatur dan memahami masyarakat.

Seorang perfeksionis politik mungkin melihat negara sebagai sebuah entitas yang harus dijalankan dengan ketertiban, efisiensi, dan kesempurnaan dalam setiap aspek. 

Mereka mungkin menganut ide-ide utopis, di mana setiap elemen masyarakat berfungsi secara harmonis dan sempurna, layaknya sebuah orkestra yang terdiri dari berbagai instrumen yang berbeda namun mampu menciptakan simfoni yang indah.

Sebaliknya, seorang fungsionalis politik mungkin lebih pragmatis, menekankan pada kebutuhan untuk menangani masalah yang ada dengan solusi yang realistis dan efektif, bahkan jika solusi tersebut tidak ideal atau tidak sempurna. 

Mereka mungkin lebih fokus pada kestabilan dan kesejahteraan praktis daripada mengejar ide-ide idealistik yang mungkin tidak terjangkau.

Ketika kedua pendekatan ini bertemu dalam kancah politik, mereka dapat menciptakan sebuah dinamika yang kaya dan beragam. Seperti dalam rumah tangga, perbedaan ini dapat menjadi sumber konflik, namun juga dapat menjadi sumber inovasi dan kemajuan. 

Dengan menggabungkan idealisme perfeksionis dengan pragmatisme fungsionalis, bisa tercipta kebijakan yang tidak hanya mengejar visi besar, tetapi juga memperhatikan kebutuhan nyata dan praktis dari masyarakat.

***

Sebagai penutup, refleksi tentang meja dan kursi ini tidak hanya relevan dalam skala kecil seperti dalam rumah tangga, tetapi juga dalam skala yang lebih besar seperti dalam politik. 

Kita semua, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat yang lebih besar, dapat belajar dari interaksi antara perfeksionisme dan fungsionalisme. 

Keseimbangan antara kedua sifat ini, baik dalam diri kita sendiri maupun dalam masyarakat, adalah kunci untuk mencapai harmoni dan kemajuan yang berkelanjutan.

Dengan demikian, renungan ini tidak hanya memberikan wawasan tentang dua sifat yang berbeda, tetapi juga tentang bagaimana kita, sebagai individu dan masyarakat, dapat berupaya mencapai keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun