Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Survei Terkubur, Asa Terpendam: Kisah Pilu Peneliti Indonesia

9 November 2023   22:32 Diperbarui: 10 November 2023   02:28 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Survei penelitian. Sumber gambar: Freepik/rawpixel.com

Pada suatu sore yang tenang, seorang peneliti menatap layar laptopnya dengan harapan yang semakin pudar. Ia telah menghabiskan berjam-jam menyusun survei yang ditujukan kepada komunitas pengembang website di perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN) di Indonesia. 

Dengan semangat untuk berkontribusi pada peningkatan website PTKIN, ia membagikan surveinya di dalam grup WhatsApp yang terdiri dari lebih dari dua ratus individu dari komunitas teknologi informasi PTKIN. Namun, setelah beberapa jam, hanya empat anggota yang merespon. 

Tingkat respons ini terasa semakin mengecewakan ketika ia melihat bahwa pesannya telah dibaca oleh lebih dari sembilan puluh orang, sebuah perbedaan tajam antara kesadaran dan partisipasi.

Apa yang seharusnya menjadi kegiatan pengumpulan data yang sederhana telah berubah menjadi refleksi mendalam tentang kondisi sosial saat ini. Peneliti tersebut mulai berbagi ceritanya di Facebook, menyatakan kekecewaannya terhadap tingkat partisipasi yang rendah meskipun informasi tentang survei sudah diterima oleh semua anggota grup. 

Teman-temannya yang sedang belajar di luar negeri merespons dengan santai, menganggap fenomena tersebut sebagai "khas" masyarakat Indonesia, sebuah komentar yang menambah bobot pada pemikirannya. 

Sang peneliti bertanya-tanya, apa yang menghambat semangat berbagi pengetahuan (knowledge sharing) dan informasi di antara kita? Pertanyaan sederhana namun berat ini membuka pintu untuk introspeksi yang lebih luas tentang budaya dan motivasi kolektif kita.

***

Di antara koridor pengetahuan dan labirin sosial kita, terdapat paradoks yang menarik: Kita, sebagai bangsa yang kaya akan keragaman dan persatuan, tampaknya terjebak dalam keheningan ketika diminta untuk berpartisipasi dalam peningkatan diri kita sendiri melalui kegiatan sederhana namun fundamental seperti mengisi survei.

Kisah perjuangan seorang peneliti dalam mengumpulkan data untuk survei penting ini tidak asing. Di sana, dalam angka yang stagnan, terdapat refleksi dari realitas yang mungkin sering kita abaikan: Apakah kita, sebagai bangsa, telah terlalu lelah dengan panggilan untuk berkontribusi? Atau mungkin ada kelelahan kolektif yang meredam semangat kita untuk menjadi bagian dari perubahan yang lebih besar?

Membaca pengalaman peneliti ini, saya terdorong untuk merenung tentang budaya berbagi pengetahuan yang tampaknya masih terkubur. Indonesia, tanah air kita yang tercinta, memang memiliki cerita keberhasilan dalam membangun komunitas yang berbagi pengetahuan. Namun, kisah peneliti ini menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan yang perlu diatasi antara idealisme berbagi pengetahuan dan kenyataan di lapangan.

Mungkin insentif yang biasanya diberikan oleh survei lainnya sudah tidak menarik lagi. Mungkin sudah saatnya kita bertanya, "Apa yang sebenarnya mendorong masyarakat kita untuk berpartisipasi?"

Dalam konteks internasional, sering dibicarakan betapa pentingnya data dalam memajukan sebuah negara. Negara lain mungkin memiliki metode yang lebih efektif dalam mengumpulkan data karena mereka memahami bahwa setiap suara yang terkumpul mewakili kebutuhan dan aspirasi rakyat mereka. Namun di Indonesia, tampaknya kita masih mencari jalan keluar---mencari formula yang tepat untuk mengundang partisipasi yang lebih luas.

Mungkin, untuk memulai, kita perlu mengakui bahwa budaya berbagi pengetahuan kita perlu dorongan. Bukan hanya dorongan materi, tetapi dorongan yang berakar pada pemahaman bahwa setiap kontribusi itu penting dan berharga. Kita perlu membangkitkan kesadaran bahwa setiap tanggapan dalam survei bukan hanya angka atau statistik, melainkan suara yang akan membentuk masa depan sebuah negara.

Pada titik ini, refleksi menjadi kunci. Mengapa negara lain bisa lebih efektif dalam hal ini? Apakah karena sistem pendidikan mereka yang menekankan pentingnya berbagi pengetahuan? Atau karena mereka memiliki infrastruktur yang mendukung partisipasi aktif warganya dalam proses pembuatan kebijakan?

Dihadapkan dengan kenyataan yang pahit, kita dihadapkan pada tuntutan untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif. Mungkin kita bisa belajar dari metode yang digunakan oleh negara lain, seperti mengadopsi pendekatan yang lebih personal dalam mengajak partisipasi atau menciptakan platform yang memudahkan masyarakat untuk berbagi pendapat mereka.

Budaya berbagi pengetahuan adalah tentang membangun ekosistem yang mendukung, tempat setiap individu merasa bahwa suaranya didengar dan dihargai. Ini bukan hanya tentang menyelesaikan survei; ini tentang merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Perjuangan peneliti ini, meskipun tampak terisolasi, adalah suara penting yang mendorong kita semua untuk merenung dan bertindak. Karena dalam setiap upaya untuk memahami mengapa kita gagal, kita menemukan peluang untuk bergerak maju---bersama.

Kita harus menemukan cara untuk meruntuhkan dinding apatis dan membangun jembatan menuju keterlibatan yang lebih dalam. Dalam setiap kegagalan untuk mendapatkan respons, terdapat pelajaran yang bisa kita peroleh dan strategi yang bisa kita perbaiki. 

Tidak ada formula ajaib untuk ini, hanya ada upaya berkelanjutan untuk menghubungkan masyarakat dengan perubahan yang kita ingin lihat. 

Mungkin kita harus mulai dengan memahami bahwa dalam setiap survei yang kita buat, terdapat cerita, terdapat kehidupan, terdapat impian yang berbicara. Ini memerlukan upaya yang lebih manusiawi dan menyentuh, bukan hanya memperlakukan responden sebagai sumber data, tetapi sebagai mitra dialog yang penting dalam pembangunan negara.

Dan di sini, muncul pertanyaan yang lebih mendalam: bagaimana kita membangun kembali kepercayaan dan minat kolektif dalam masyarakat yang semakin individualistik? Jawabannya mungkin terletak pada cara kita mendidik generasi muda kita. 

Pendidikan yang tidak hanya fokus pada pengetahuan akademis, tetapi juga pada nilai-nilai kewarganegaraan, kepedulian sosial, dan pentingnya partisipasi aktif dalam pembangunan negara. Mungkin kita harus memulai dengan mengubah narasi---dari menuntut partisipasi menjadi menginspirasi kolaborasi.

***

Tantangan untuk mengubah budaya ini tidak akan mudah dan tidak akan terjadi dalam semalam. Tetapi jika kita bisa memulai dengan langkah-langkah kecil, dengan menghargai setiap tanggapan yang kita terima, dengan merayakan setiap usaha berbagi pengetahuan, kita mungkin bisa memulai perubahan. 

Sebuah perubahan dimana setiap individu tidak hanya dilihat sebagai responden, tetapi sebagai pembawa cahaya yang menerangi jalan menuju negara yang lebih cerah dan membanggakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun