Pada suatu sore yang tenang, seorang peneliti menatap layar laptopnya dengan harapan yang semakin pudar. Ia telah menghabiskan berjam-jam menyusun survei yang ditujukan kepada komunitas pengembang website di perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN) di Indonesia.Â
Dengan semangat untuk berkontribusi pada peningkatan website PTKIN, ia membagikan surveinya di dalam grup WhatsApp yang terdiri dari lebih dari dua ratus individu dari komunitas teknologi informasi PTKIN. Namun, setelah beberapa jam, hanya empat anggota yang merespon.Â
Tingkat respons ini terasa semakin mengecewakan ketika ia melihat bahwa pesannya telah dibaca oleh lebih dari sembilan puluh orang, sebuah perbedaan tajam antara kesadaran dan partisipasi.
Apa yang seharusnya menjadi kegiatan pengumpulan data yang sederhana telah berubah menjadi refleksi mendalam tentang kondisi sosial saat ini. Peneliti tersebut mulai berbagi ceritanya di Facebook, menyatakan kekecewaannya terhadap tingkat partisipasi yang rendah meskipun informasi tentang survei sudah diterima oleh semua anggota grup.Â
Teman-temannya yang sedang belajar di luar negeri merespons dengan santai, menganggap fenomena tersebut sebagai "khas" masyarakat Indonesia, sebuah komentar yang menambah bobot pada pemikirannya.Â
Sang peneliti bertanya-tanya, apa yang menghambat semangat berbagi pengetahuan (knowledge sharing) dan informasi di antara kita? Pertanyaan sederhana namun berat ini membuka pintu untuk introspeksi yang lebih luas tentang budaya dan motivasi kolektif kita.
***
Di antara koridor pengetahuan dan labirin sosial kita, terdapat paradoks yang menarik: Kita, sebagai bangsa yang kaya akan keragaman dan persatuan, tampaknya terjebak dalam keheningan ketika diminta untuk berpartisipasi dalam peningkatan diri kita sendiri melalui kegiatan sederhana namun fundamental seperti mengisi survei.
Kisah perjuangan seorang peneliti dalam mengumpulkan data untuk survei penting ini tidak asing. Di sana, dalam angka yang stagnan, terdapat refleksi dari realitas yang mungkin sering kita abaikan: Apakah kita, sebagai bangsa, telah terlalu lelah dengan panggilan untuk berkontribusi? Atau mungkin ada kelelahan kolektif yang meredam semangat kita untuk menjadi bagian dari perubahan yang lebih besar?
Membaca pengalaman peneliti ini, saya terdorong untuk merenung tentang budaya berbagi pengetahuan yang tampaknya masih terkubur. Indonesia, tanah air kita yang tercinta, memang memiliki cerita keberhasilan dalam membangun komunitas yang berbagi pengetahuan. Namun, kisah peneliti ini menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan yang perlu diatasi antara idealisme berbagi pengetahuan dan kenyataan di lapangan.